Thursday 11 September 2014

SUBAHANALLAH.... PEMANDANGAN DI ATAS KAABAH


Klik link dibawah dan gerak-gerakkan hp anda akan dapat melihat pemandangan sekeliling Kaabah seolah-olah anda berada diatas Kaabah.

http://www.shutterksa.com/panorama/RoofOfKaaba/

Wednesday 10 September 2014

SIRAH NABI : ABU DARDA' AHLI HIKMAH YANG BUDIMAN


Pada saat bala tentara Islam berperang, kalah dan menang di beberapa penjuru bumi, di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmah dan falsafah yang mengagumkan. Dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.

Ia senantiasa mengucapkan kata-kata indah kepada masyarakat sekelilingnya, "Mahukah kamu sekalian, aku khabarkan amalan-amalan yang terbaik. Amalan yang terbersih di sisi Allah dan boleh meninggikan derajat kalian. Lebih baik dari memerangi musuh dengan menghentam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang lehermu, dan malah lebih baik dari emas dan perak?"

Para pendengarnya menjulurkan kepala mereka ke depan kerana ingin tahu, lalu bertanya, "Apakah itu wahai, Abu Darda'?"

Abu Darda' menjawab, "Zikrullah!"

Ahli hikmah yang mengagumkan ini bukannya menganjurkan orang menganut falsafah dan mengasingkan diri. Ia juga tidak bermaksud menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai dengan jihad fi sabilillah. 

Abu Darda' bukanlah orang semacam itu, kerana ia telah ikut berjihad mempertahankan agama Allah bersama Rasulullah SAW hingga datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Makkah.

Abu Darda' adalah ahli hikmah yang besar di zamannya. Ia adalah seorang yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat besar untuk melihat hakikat dan menemukannya. Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh. 

Pernah ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda'. Sang ibu menjawab, "Tafakur dan mengambil i'tibar (pelajaran)."

Pada saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda' adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebahagian besar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.

"Aku tidak mengharamkan jual-beli. Hanya saja, aku pribadi lebih menyukai diriku termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak melalaikannya dari zikir kepada Allah," ujarnya.

Abu Darda' sangat terkesan hingga mengakar ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi bantahan terhadap, "Orang yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya." (QS Al-Humazah: 2-3).

Ia juga sangat terkesan sabda Rasulullah SAW, "Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak namun merugikan."

Oleh sebab itulah, ia kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan. "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang."

Orang-orang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu?"

"Memiliki harta benda di setiap lembah!" jawabnya. Ia mengimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya. Maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak penghambaan diri.

Saat itu ia juga berkata, "Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya."

Bagi Abu Darda', harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih. Berpijak dari sini, maka manusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan dan mati-matian. "Jangan kau makan, kecuali yang baik. Jangan kau usahakan kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumahmu, kecuali yang baik!" ujarnya.

Menurut keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pinjaman dan menjadi jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi.

Pada suatu hari, para sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan yang lebih baik dan empuk. 

Tawaran ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan kedua bola matanya menatap jauh ke depan. "Kampung kita nun jauh di sana, untuknya kita mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat kepadanya dan beramal untuk bekal di sana."

SIRAH NABI : ABU HURAIRAH AD-DAUSI PENGHAFAL HADITS


Tidak diragukan lagi, hampir semua kaum Muslimin pasti mengenal sahabat Nabi yang satu ini. Ia mempunyai bakat yang luar biasa dalam hal kemampuan dan kekuatan ingatan, ia mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya. Sedangkan daya ingatannya mempunyai keistimewaan dalam menghafal dan menyimpan. 

Hampir tak pernah ia melupakan satu kata atau satu huruf pun dari semua yang pernah didengarnya. Ia telah mewakafkan hampir seluruh hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah saw, sehingga ia termasuk salah seorang sahabat yang paling banyak menerima dan menghafal hadis, serta meriwayatkannya.

Pada zaman Jahiliyah, orang memanggilnya Abu Syams. Ketika hendak memeluk Islam, Rasulullah bertanya kepadanya, "Siapa namamu?"

"Abdu Syams," jawabnya singkat.

"Bukannya Abdurrahman (Hamba Allah)?" tanya Rasulullah.

"Demi Allah, benar. Abdurrahman, ya Rasulullah," jawab Abu Hurairah setuju.

Diberi gelar Abu Hurairah, kerana waktu kecil dia mempunyai seekor anak kucing betina dan selalu bermain-main dengannya. Maka gelar masa kecilnya lebih popular daripada nama aslinya. Setelah Rasulullah mengetahui gelar dan asal-usul namanya, maka beliau selalu memanggilnya "Abu Hirr" sebagai panggilan akrab. Dan Abu Hurairah lebih terkesan dengan panggilan "Abu Hirr" daripada "Abu Hurairah".

Abu Hurairah masuk Islam dengan perantaraan Thufail bin Amr Ad-Dausi. Islam masuk ke negeri Daus kira-kira awal tahun ke-7 Hijriyah, yaitu ketika dia menjadi utusan kaumnya menemui Rasulullah SAW di Madinah.

Setelah bertemu Rasulullah, pemuda Daus ini memutuskan untuk berkhidmat (menjadi pelayan) Nabi dan menemani beliau. Oleh kerana itu, ia tinggal di masjid, di mana Rasulullah mengajar dan menjadi imam. Selama Rasulullah hidup, Abu Hurairah tidak menikah dan belum punya anak. 

Namun ia mempunyai ibu yang sudah lanjut usia, dan masih tetap musyrik. Abu Hurairah tidak berhenti mengajak ibunya masuk Islam, kerana dia sangat menyayanginya dan ingin berbakti. Tetapi ibunya malah menjauh dan menolak ajakannya. Ia pun meninggalkan ibunya dengan perasaan kacau dan hati yang terkoyak.

Dia pernah mengajak ibunya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, namun ibunya menolak sambil mencela Rasulullah dengan kata-kata yang menyedihkan dan menyakitkan hati. Ia pun pergi menemui Nabi SAW.

"Mengapa kau menangis, wahai Abu Hurairah?" tanya Rasulullah.

"Aku tidak bosan-bosannya mengajak ibuku masuk Islam. Tetapi ia selalu menolak. Hari ini ia ku ajak masuk Islam, tapi ia malah mengucapkan kata-kata yang mencela mengenai dirimu, wahai Rasulullah, yang tak sudi ku dengar. Tolonglah doakan, ya Rasulullah, semoga ibuku masuk Islam," katanya. 

Rasulullah pun mendoakan semoga hati ibu Abu Hurairah terbuka untuk masuk Islam. Pada suatu hari, ketika pulang ke rumahnya, Abu Hurairah mendapati pintu dalam keadaan tertutup. Di dalam terdengar bunyi gemercik air. Tatkala hendak masuk ke dalam, terdengar suara ibunya, "Tunggu sekejap!"

Agaknya ibu tengah berpakaian. Tak lama kemudian. "Masuklah!" kata ibunya. Begitu masuk ke dalam, ibunya berkata, "Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."

Abu Hurairah kembali kepada Rasulullah sambil menangis gembira, sebagaimana sebelumnya ia menangis kerana sedih. "Bergembiralah wahai Rasulullah, Allah mengabulkan doa anda. Ibuku telah masuk Islam," ujarnya.

Abu Hurairah mencintai Rasulullah hingga menjadi darah daging. Dia tak pernah bosan memandang wajah beliau. "Bagiku tidak ada yang lebih indah dan cemerlang selain wajah Rasulullah SAW. Dalam penglihatanku, seolah-olah matahari sedang memancar di wajah beliau," katanya suatu ketika.

Sebagaimana besar cintanya kepada Rasulullah SAW, maka begitu pula besar cintanya kepada ilmu. Sehingga ilmu menjadi kegiatan dan puncak cita-citanya.

Ketika kaum Muslimin memperoleh kesejahteraan dari limpahan rampasan perang. Abu Hurairah mendapat bahagian, berupa sebuah rumah dan harta. Walaupun begitu, semua kenikmatan yang diperolehnya tidak sedikit pun mengubah kepribadiannya yang mulia. Dia tidak pernah melupakan masa lalunya.

Dia kerap bercerita, "Aku dibesarkan ibuku dalam keadaan yatim. Kemudian aku hijrah dalam keadaan miskin. Aku pernah mengambil upah di perkebunan Ghazwan, hanya untuk mendapatkan sesuap makanan. Aku juga pernah menjadi pelayan (khadam), menurunkan dan menaikkan keluarga itu dari dan ke atas kendaraannya. Kemudian aku dinikahkan Allah dengan anak perempuan mereka."

Abu Hurairah pernah menjadi Wali Kota Madinah lebih dari satu kali. Dia diangkat menjadi wali kota oleh Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Kelembutan pemerintahannya tidak ada yang menandingi. 

Dalam pribadi Abu Hurairah terkumpul kekayaan akan ilmu, ketakwaan dan kewara'an. Siang hari dia puasa, malam dia beribadah. Kemudian dibangunkannya isterinya. Isterinya beribadah sepertiga malam, setelah itu membangunkan anak perempuannya. Maka anak gadis itu beribadah juga sepertiga malam terakhir. Kerana itu dalam rumah tangga Abu Hurairah tidak putus-putusnya orang beribadah sepanjang malam.

Sepanjang hidupnya, Abu Hurairah senantiasa bersikap dan berbuat baik terhadap ibunya. Bila dia keluar rumah, dia berdiri lebih dahulu di muka pintu kamar ibunya, untuk mengucapkan salam. Ia juga giat mengajak orang bersikap dan berbuat baik terhadap orang tua mereka, serta menyayangi mereka.

Ketika Abu Hurairah sakit dan akan meninggal dunia, dia menangis. Orang-orang bertanya padanya, "Mengapa anda menangis, wahai Abu Hurairah?"

Ia menjawab, "Aku menangis bukan kerana sedih berpisah dengan dunia ini, bukan! Aku menangis kerana perjalanan masih jauh, sedangkan perbekalanku hanya sedikit. Aku telah berada di ujung jalan yang akan membawaku ke surga atau neraka. Sedangkan aku tidak tahu di jalan mana aku berada."

Marwan bin Hakam datang berkunjung menengoknya. Kata Marwan, "Semoga Allah segera menyembuhkanmu, wahai Abu Hurairah!"

Mendengar doa Marwan tersebut, Abu Hurairah justeru berdoa sebaliknya. "Ya Allah, aku sudah rindu bertemu dengan-Mu. Semoga Engkau juga begitu terhadapku. Segerakanlah bagiku pertemuan itu!"

Tidak lama setelah Marwan tiba di rumahnya, Abu Hurairah meninggal dunia dengan tenang.

CARA SAIYIDINA UMAR IBNU AL KHATTAB MENUTUP AIB ORANG


Suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab memimpin solat berjamaah di masjid. Tiba-tiba beliau mencium bau busuk yang berasal daripada seorang makmum yang terbuang angin.

Setelah solat, Umar berkata: "Aku menggesa orang yang telah kentut tadi untuk berwuduk kembali dan mengulangi semula solatnya."

Tiada siapa yang bangkit menyahut perintah ini. Umar mengulanginya berkali-kali. Namun, keadaan tetap tak berubah. Besar kemungkinan pelakunya enggan mendapat malu.

Kebetulan pada saat itu, Jarir bin Hazim turut sama dalam solat berjemaah. Beliau seorang tokoh pemimpin yang sangat berpengalaman dan bijak. Beliau faham dengan apa yang tengah berlaku.

"Wahai Amirul Mukminin. Janganlah anda perintahkan orang yang kentut itu seorang. Perintahkanlah kami semua. Mari kita wuduk bersama-sama lalu mengulangi solat kita. Maka solat ini bagi kita dikira sunnah, namun bagi orang itu dikira wajib," kata Jarir

Cadangan itu sangat bagus. Jarir tahu cara menyelesaikan masalah tanpa membuka aib sesiapa.

Umar berkata: "Semoga Allah merahmatimu, wahai Jarir. Sungguh engkau pemimpin ulung di masa jahiliah dan Islam. Aku perintahkan diriku dan anda semua berwuduk dan mengulangi solat semula."

Membuka aib orang lain untuk memalukannya adalah haram di sisi Islam. Orang yang suka membincangkan aib orang lain diancam dengan hukuman berat di dunia dan di akhirat.

Rasulullah bersabda: "Sesiapa yang menutupi keburukan saudara seislam, Allah akan menutupi keburukannya di hari kiamat. Dan sesiapa yang menyingkap keburukan saudaranya seislam, Allah akan menyingkap keburukannya sehingga ia akan terhina meskipun di dalam rumahnya sendiri." (Ibnu Majah).



Sumber : Kitab Syiar A'lam An Nubala' Karangan Imam Az Zahabi

Tuesday 2 September 2014

KISAH PENTINGNYA NIAT


Pada suatu hari seorang pemuda yang kuat beramal ibadat kepada Allah telah bercita-cita untuk melihat Iblis di tempat ibadatnya. Suatu hari ketika dia sedang duduk bersendirian maka datanglah syaitan kepadanya dengan berkata: “Sayang sekali engkau, engkau telah menghabiskan dan mensia-siakan empat puluh tahun umurmu kerana itu rasailah kesedapan dunia dan jamulah kehendak dan keinginan engkau. Kemudian kembalilah engkau bertaubat serta membuat ibadat kepada Allah pula. Jadi tiadalah engkau merugi dalam dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Penyayang.” 

Mendengar kata-kata iblis yang lembut itu maka hati dan pendiriannya telah berubah, katanya: “Benar juga kata-kata syaitan itu, aku telah pun merugikan diriku sendiri beberapa lama. Baiklah aku turun ke bawah mendapatkan saudaraku supaya dapat aku bersama-samanya memuaskan nafsu keinginan dan keduniaan selama dua puluh tahun, kemudian aku akan bertaubat dan kembali beribadat kepada Allah di dalam umurku yang dua puluh tahun lagi itu."

Selepas dari itu dia pun turun ke bawah dengan niat untuk melakukan kejahatan dan kemaksiatan kepada Allah. Dalam pada itu saudaranya yang seorang lagi (Penderhaka) yang selalu di dalam kancah kemaksiatan dan kejahatan itu mula menyedari kesilapan yang telah dilalukannya. Pada suatu hari dia mendapati dirinya di dalam seburuk-buruk keadaan. Dilihatnya badannya serta pakaiannya telah kotor berlumuran dengan najis serta terlantar pula di atas debu tanah. Sewaktu dia sedar itu, maka berkatalah hatinya: “Oh… sia-sianya. Oh.. ruginya aku. Sudah habis umurku di dalam dunia maksiat, aku telah merosakkan diri sendiri serta bodoh, sedangkan saudaraku itu sedang menikmatan beribadat kepada Allah dan akan memperolehi syurga Tuhan. Tetapi aku.. nerakalah tempat tinggalku. Demi Allah, aku bertaubat aku akan naik ke atas bersama saudaraku untuk mengerjakan ibadat dan berbakti kepada Allah. Semoga Allah akan mengampuni segala dosanya.” 

Maka dia pun naiklah ke atas dengan niat untuk bertaubat sedangkan saudaranya itu pula turun dengan niat untuk melakukan kerja-kerja maksiat dan kerja-kerja yang dimurkai Allah. Tiba-tiba sewaktu dia hendak turun maka dia tergelincir kakinya lalu jatuh ke atas adiknya bertimpa-timpa. Akhirnya kedua-duanya itu pun mati di situ juga. 

Di hari akhirat nanti kedua saudara itu akan dibangkitkan menurut niatnya. Iaitu yang ahli ibadah akan di bangkitkan atas niat maksiat manakala adiknya pula akan di bangkitkan atas niat berbakti kepada Allah sebagaimana sabda Nabi saw yang bermaksud: “Akan di bangkitkan tiap-tiap hamba menurut keadaan matinya.” (Baik atau Buruk). 

Di samping itu anggaplah syaitan itu sebagai musuh selama-lamanya sebagaimana firman Allah yang bermaksud : “Sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagi kamu.”

Sumber : Kitab Bahru Al Madzi karangan Syeikh Muhammad Idris Al Marbawi

SIRAH NABI : ABU UBAIDAH BIN JARRAH MANUSIA KEPERCAYAAN UMAT MUHAMMAD


Pada suatu ketika, utusan kaum Nasrani datang menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Abu Qasim, kirimlah kepada kami seorang sahabat anda yang pintar menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum Muslimin."

"Datanglah kembali nanti, saya akan mengirimkan kepada kalian 'orang kuat yang paling dipercayai'," kata Rasulullah SAW.

Umar bin Al-Khathab berkata, "Aku ingin tugas itu tidak diserahkan kepada orang lain, kerana aku ingin mendapatkan gelar 'orang kuat yang paling dipercayai'."

Selesai sholat, Rasulullah melihat ke kanan dan ke kiri. Umar sengaja menonjolkan diri agar dilihat Rasulullah. Namun beliau tidak menunjuknya. Ketika melihat Abu Ubaidah, beliau memanggilnya dan berkata, "Pergilah kau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan!"

Abu Ubaidah berangkat bersama para utusan tersebut dengan menyandang gelar "orang kuat yang paling dipercayai".

Abu Ubaidah selalu mengikuti Rasulullah berperang dalam tiap peperangan yang beliau pimpin, hingga beliau wafat.

Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (Al-Yaum Ats-Tsaqifah), Umar bin Al-Khathab mengulurkan tangannya kepada Abu Ubaidah seraya berkata, "Aku memilihmu dan bersumpah setia, kerana aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang yang dipercayai. Dan orang paling dipercayai dari umat ini adalah engkau."

Abu Ubaidah menjawab, "Aku tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita sholat sewaktu beliau hidup—Abu Bakar Ash-Shiddiq. Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia."

Akhirnya mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan Abu Ubaidah diangkat menjadi penasihat dan pembantu utama khalifah.

Abu Ubaidah meninggal dunia kerana terkena penyakit menular wabak di Syam. Menjelang wafatnya, ia berwasiat kepada seluruh prajuritnya, "Aku berwasiat kepada kalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa dalam keadaan bahagia. Tetaplah kalian menegakkan sholat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian, nasihati pemerintah kalian, dan jangan biarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang berusia panjang hingga seribu tahun, dia pasti akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini."

Kemudian dia menoleh kepada Mu'adz bin Jabal, "Wahai Muadz, sekarang kau yang menjadi imam (panglima)!"

Tak lama kemudian, ruhnya meninggalkan jasad untuk menjumpai Tuhannya.

SIRAH NABI : ABU THALHAH AL-ANSHARI SYAHID DI ATAS KAPAL


Abu Thalhah berniat melamar Ummu Sulaim sebagai isterinya, ia pun pergi ke rumah wanita Muslimah baik-baik yang telah menjanda itu. Sesampai di rumah Ummu Sulaim, Abu Thalhah diterima dengan baik. Putra Ummu Sulaim, Anas, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, iaitu hendak melamar Ummu Sulaim. 


Namun Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah. "Sesungguhnya lelaki seperti anda, hai Abu Thalhah, tidak boleh saya tolak lamarannya. Tetapi saya tidak akan kawin dengan anda, kerana anda kafir," ujarnya.


"Demi Allah, apakah yang menghalangimu untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?" tanya Abu Thalhah.


Ummu Sulaim menjawab, "Saksikanlah, hai Abu Thalhah. Aku bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika kau masuk agama Islam, aku rela menjadi suamimu tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku."


"Siapa yang harus mengislamkanku?" tanya Abu Thalhah.


"Aku boleh."


"Bagaimana caranya?"


"Tidak sulit," kata Ummu Sulaim. "Ucapkan saja dua kalimah syahadat. Tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Setelah itu, kau harus pulang ke rumahmu dan menghancurkan berhala sembahanmu lalu kau buang!"


Abu Thalhah nampak gembira. Ia kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat. Setelah itu ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar, agama Islam.


Mendengar berita ini, kaum Muslimin berkata, "Belum pernah kami dengar mahar kawin yang lebih mahal daripada mahar Ummu Sulaim. Maharnya masuk Islam."


Sejak hari itu, Abu Thalhah berada di bawah naungan Islam. Segala daya dan upayanya ia korbankan untuk berkhidmat kepada Islam.


Abu Thalhah dan isterinya, Ummu Sulaim, termasuk "Kelompok 70" yang bersumpah setia (baiat) kepada Rasulullah di Aqabah. Ia ditunjuk oleh Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari 12 regu yang dibentuk malam itu untuk mengislamkan Yatsrib.


Dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam tiap peperangan yang beliau pimpin. Ia mencintai Rasulullah sepenuh hati dan segenap jiwa. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, "Inilah diriku, kujadikan tebusan bagi diri anda, dan wajahku menjadi pengganti wajah anda."


Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum Muslimin terpecah-belah dan lari tunggang-langgang. Oleh sebab itu, pasukan musyrikin dapat menembusi pertahanan mereka sampai dekat ke Rasulullah. Musuh berhasil mencederai beliau, mematahkan gigi, dan melukai bibirnya. Sehingga darah mengalir membasahi wajah Nabi. Lalu kaum musyrikin menyebarkan berita bahwa Rasulullah telah wafat.


Mendengar teriakan kaum musyrikin itu, kaum Muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda meninggalkan Rasulullah. Hanya segelintir orang yang saja yang bertahan, mengawal dan melindungi beliau. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.


Abu Thalhah juga seorang Muslim yang pemurah, ia kerap mengorbankan harta bendanya untuk agama Allah. Ia juga sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan ia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fi sabilillah. Kurang lebih 30 tahun setelah Rasulullah SAW wafat, dia senantiasa berpuasa, kecuali di hari raya. Umurnya mencapai usia lanjut, namun ketuaan tidak menghalanginya untuk berjihad di jalan Allah.


Pada masa Khalifah Utsman, kaum Muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah pun bersiap-siap hendak turut berjihad dengan kaum Muslimin. Anak-anaknya membantah. "Wahai ayah, engkau sudah tua, engkau sudah ikut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama Abu Bakar dan Umar bin Al-Khathab. Kini ayah harus beristirahat, biarlah kami yang berperang untuk ayah," kata mereka.


Abu Thalhah menjawab, "Bukankah Allah telah berfirman: "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan mahupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS At-Taubah: 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua mahupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang."


Ia pun ikut berperang. Ketika Abu Thalhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal di tengah lautan bersama tentara Muslimin, ia jatuh sakit lalu meninggal dunia. Kaum Muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat pemakaman jenazah Abu Thalhah. Namun setelah enam hari berlayar, barulah mereka menemukan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal, tanpa berubah sedikit pun. Bahkan ia seperti orang yang sedang tidur nyenyak.