Makam (pusara) Rasullullah SAW terletak di sebelah Timur Masjid Nabawi. Di tempat ini dahulu terdapat dua rumah, iaitu rumah Rasulullah SAW bersama Aisyah dan rumah Ali dengan Fatimah. Sejak Rasulullah SAW wafat pada tahun 11 H (632 M), rumah Rasullullah SAW terbagi dua. Bahagian Selatan untuk makam Rasulullah SAW dan bahagian Utara untuk tempat tinggal Aisyah. Sejak tahun 678 H. (1279 M) di atasnya dipasang Kubah Hijau (Green Dome). Dan sampai sekarang Kubah Hijau tersebut tetap ada. Jadi tepat di bawah Kubah Hijau itulah lokasi bernama hujrah al-musyarrafah atau kamar yang dimuliakan di mana jasad Rasullullah SAW dimakamkan oleh keluarga Baginda. Di situ juga dimakamkan kedua sahabat, Abu Bakar (Khalifah Pertama) dan Umar (Khalifah Kedua) yang dimakamkan berdampingan dengan makam Rasulullah SAW. Video di bawah menunjukkan makam sebenar rasulullah.
Atau boleh lihat video itu di sini
Diriwayatkan di dalam Sahih Bukhari, ketika Nabiyullah Ibrahim As. dilemparkan ke apinya Namrud maka Nabiyullah Ibrahim mengucapkan “Hasbiyallahu wani’mal wakiil”, Cukup bagiku Allah dan semulia-mulia tempat untuk bertawakkal.
Kalimat agung dari jiwa yang mulia ini merubah api sehingga turunlah firman Allah yang berbunyi “Kuuniy bardan wasalaaman ‘ala ibrahim”, jadilah sejuk dan dingin dan membawa kesejahteraan kepada Ibrahim wahai api. (al-Anbiya’ ayat 69).
Jadilah engkau wahai api sejuk dan membawa kesejahteraan bagi Ibrahim. Allah sudah ciptakan sifat api itu panas dan membakar sesuatu yang menyentuhnya, tapi Allah balikkan ketentuanNya kerana jiwa yang bermunajat, jiwa yang berdoa, jiwa yang mulia dengan Cahaya Allah Swt. Berbalik keadaan api menjadi sejuk.
Demikian indahnya sanubari dan jiwa yang memuliakan Allah, semakin besar kemuliaan Allah di dalam hatinya maka semakin ia membawa kemuliaan dalam kehidupan, bagi dirinya dan bagi sekitarnya.
Allah Swt. mengikat erat jiwa dan sanubari yang terikat pada para solihin. Dan bicara mengenai Nabi Ibrahim, sedemikian mulianya. Bukan untuk Nabi Ibrahim sendiri tapi orang-orang dan siapa pun yang mencintai Nabi Ibrahim As. turut termuliakan.
Diriwayatkan di dalam Syi’bul Iman oleh al-Imam Baihaqi, juga di dalam Tafsir Imam al-Qurthubi, ketika seekor katak tidak tahan melihat Nabi Ibrahim hendak dibakar oleh Raja Namrud, (padahal) tidak mampu berbuat apa-apa, ia hanya menaruh air di mulutnya. Berapakah besar mulutnya katak untuk memadamkan apinya Nabi Ibrahim? (Api menyala) lebih besar dari bukit, Katak mengambil air dari sungai dan melompat-lompat dan menyemburkan air itu ke api. Tidak berguna perbuatan katak itu, tidak akan dapat memadamkan api, tapi Yang Maha Melihat, (tetap) melihat!
Allah Swt. melihat jiwa seekor katak yang kecil yang tidak dilihat oleh makhluk lainnya.
Allah Swt. tahu niat dari hambaNya yang kecil itu. Cintanya kepada Nabiyullah Ibrahim dan niatnya menyelamatkan Nabi Ibrahim (padahal Nabi Ibrahim sudah dilindungi oleh Allah) maka Allah mengharamkan katak untuk dibunuh sampai akhir zaman. Semua katak, padahal ini perbuatan satu saja. Yang berbuat satu, semua katak sampai akhir zaman haram dibunuh.
Sampai diriwayatkan lebih dari 20 hadis, pelarangan Nabi Saw. membunuh katak, sehingga para sahabat datang kepada Rasul Saw. mengajukan pertanyaan: “Ada katanya jenis ubat tapi diambil dari katak, harus membunuh katak?” Rasulullah Saw. melarangnya: “Jangan jadikan perubatan dari katak.” Kenapa? kerana katak dilindungi sampai akhir zaman. Kenapa? satu diantaranya pernah ingin menyelamatkan Nabi Ibrahim As.
Lihatlah betapa Allah menghargai keinginan mulia, walaupun tidak mampu berbuat apa-apa, walaupun tidak mampu merubah keadaan, tetapi hal itu dihargai oleh Allah dan dilihat.
Lebih-lebih lagi orang-orang yang mencintai Sayyidina Muhammad Saw., Pemimpin Para Nabi dan Rasul. Dan orang-orang yang membantu apa-apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah Saw.
Barangkali perbuatannya tidak bererti, tapi itu usaha yang dihargai oleh Allah Swt. Wallahu`alam
(Saduran Tausiyah Sayyidil Habib Mundzir Al-Musawa)
Pada zaman pemerintahan Saidina Umar Al-Khattab, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai pengembala kambing. Pemuda tersebut adalah seorang hamba sahaya yang amanah dan jujur. Kedua-dua orang tuanya telah meninggal dunia, dan dia hidup sebatang kara, yatim piatu serta hamba sahaya pula.
Setiap hari pemuda tersebut mendaki bukit bakau dan merentasi padang rumput untuk menghalau kambing-kambing milik majikannya dari satu lembah ke satu lembah lain. Dia menjaga kambing-kambing tersebut dengan baik dan amanah seolah-olah kambing kepunyaan sendiri.
Kemudian, suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Khattab ditemani Abdullah bin Dinar berjalan bersama dari Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan anak gembala. Lalu timbul dalam hati Khalifah Umar untuk menguji sejauh mana kejujuran si anak gembala itu. Khalifah Umar pun mendekati pemuda pengembala itu, seraya berkata: " Sungguh banyak kambing yang kamu pelihara, lagi pula sangat bagus dan gemuk-gemuk semuanya. Oleh karena itu kamu juallah kepadaku. Saya menginginkan seekor darinya yang gemuk dan bagus."
Mendengar kata-kata demikian, pengembala tersebut menjawab: "Kambing-kambing ini bukanlah milik saya, tetapi milik majikan saya. Saya hanyalah seorang hamba dan pengembala yang mengambil upah saja."
Umar bin Khattab berkata lagi, ''Katakan saja nanti pada tuanmu, kambing itu dimakan serigala.''
Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ''Fa ainallah?''… ''Fa ainallah?''…(Dimana Allah? Dimana Allah?”) anak itu mengulang-ulang. (Kurang lebih maknanya adalah, ''''Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?"")
Umar bin Khattab adalah seorang khalifah, pemimpin umat yang sangat berwibawa lagi ditakuti, dan tak pernah gentar menghadapi musuh. Akan tetapi, menghadapi anak gembala itu beliau gemetar, kagum, sekaligus bahagia memiliki rakyat yang taat kepada Allah SWT.
Seketika, Umar bin Khattab pun menangis dan mendakap anak itu. Kemudian beliau minta ditunjukan rumah majikannya. Tak lama, Umar bin Khattab membeli anak gembala itu dan kambing-kambingnya dari majikannya. Lalu, dia memerdekakan anak gembala itu dan menghadiahkan seluruh kambing itu sebagai balasan atas sifat amanah dan keimanannya.