Thursday 3 May 2018

Pertemuan Nabi Dengan Utbah bin Rabi'ah


Setelah 'Utbah bin Rabi'ah terpilih sebagai utusan kaum Musyrikin Quraisy, maka pada suatu hari ia datang ke rumah Abu Thalib. Setelah ia bertemu dengan Abu Thalib (paman Nabi SAW), lalu meminta kepadanya supaya memanggil Nabi SAW ke rumahnya. Abu Thalib lalu mengabulkan permintaan itu, dan dengan segera Abu Thalib menyuruh seseorang untuk memanggil keponakannya. Setelah menerima panggilan itu, maka Nabi SAW segera datang kerumah pamannya.

Nabi SAW sama sekali tidak menyangka bahwa beliau sedang ditunggu-tunggu oleh 'Utbah di rumah pamannya. Oleh sebab itu, setibanya di rumah Abu Thalib beliau sedikit tercengang melihat 'Utbah ada di situ. Kemudian Nabi SAW duduk berhadapan dengan 'Utbah.

Setelah Nabi SAW dengan 'Utbah saling berpandangan, lalu 'Utbah berkata lebih dahulu :

"Hai anak laki-laki saudaraku ! Engkau sesungguhnya dari golongan kami, dan engkau telah mengetahui keadaan kita, bahwa kita bangsa Quraisy ini adalah sebaik-baik dan semulia-mulia bangsa Arab di dalam pergaulan dan bermasyarakat, sekarang engkau datang kepada bangsamu dengan membawa suatu perkara yang besar ! Engkau datang kepada bangsamu dengan membawa suatu perubahan yang amat berbahaya ! Tidakkah engkau merasa bahwa kedatanganmu itu telah memecah belah bangsamu yang telah berabad-abad bersatu, dan mencerai beraikan persaudaraan bangsamu yang telah lama sejalan, dan engkau telah membodoh-bodohkan orang-orang pandaimu, mencaci-maki apa-apa yang telah lama dipuja-puja para orang tuamu, engkau rendahkan apa-apa yang telah lama dimuliakan oleh nenek moyangmu dan bangsamu, engkau cela agama yang telah beratus tahun dipeluk oleh bangsamu dan para leluhurmu, dan engkau sesat-sesatkan pujangga-pujanggamu yang telah lewat. Kini bangsamu telah berpecah-belah dan bergolong-golong, disebabkan oleh perbuatanmu.

Kejadian yang demikian itu, kini telah tersiar di negara-negara lain. Maka dari itu kami sangat khawatir, apabila nanti bangsamu kedatangan musuh dari luar, dapatkah kita melawan dan mempertahankan kedudukan kita ? Sudah tentu tidak dapat. Sebab perpecahan di antara bangsamu itu kini semakin menjadi, yang tentu akan menyebabkan kelemahan pada bangsamu sendiri.

Oleh sebab itu, kedatanganku hari ini kepadamu, adalah atas nama bangsamu seluruhnya, dan hendak mengajukan kepadamu beberapa hal yang besar lagi sangat penting. Tetapi aku meminta kepadamu, bahwa sesudah aku mengatakannya, hendaklah engkau fikir dengan tenang dan engkau perhatikan benar-benar, jangan engkau tolak mentah-mentah belaka ! Agar supaya engkau nanti dapat menerima salah satu dari hal-hal yang akan kukatakan. Adapun tujuan kami tidak lain dan tidak bukan, supaya bangsamu yang mulia itu dapat bersatu kembali, seia sekata dan kembali berdamai seperti yang sudah-sudah".

Kemudian Nabi SAW. menjawab : "Katakanlah kepadaku segala sesuatu yang hendak engkau katakan, hai Abul Walid ! Aku akan mendengarkannya".

'Utbah bin Rabi'ah lalu berkata : "Saya akan bertanya lebih dahulu kepadamu Muhammad, sebelum saya mengatakan hal-hal yang akan saya katakan itu. Adakah engkau lebih baik daripada datukmu yang terhormat ('Abdul Muththalib) ?".

Nabi SAW waktu itu diam, tidak menjawab sepatah kata pun, 'Utbah lalu melanjutkan pembicaraannya : "Wahai anak laki-laki saudaraku ! Jika engkau menganggap bahwa dirimu lebih baik daripada orang-orang tuamu dan nenek moyangmu dahulu, maka katakanlah hal itu kepadaku, aku akan mendengarkannya. Dan jika engkau menganggap bahwa orang-orang tuamu dan nenek moyangmu itu lebih baik daripada engkau, padahal mereka itu dengan sungguh-sungguh menyembah dan memuliakan Tuhan-Tuhan yang engkau caci maki serta engkau hinakan sekarang ini, maka katakanlah hal itu kepadaku sekarang juga".

Nabi SAW tetap diam saja.

Lantas 'Utbah melanjutkan lagi pembicaraannya : "Sekarang bagai-mana Muhammad, apa yang menjadi kehendakmu dengan mengadakan agama baru itu ? Saya ingin tahu, Muhammad ! Jikalau dengan mengadakan agama baru itu engkau menginginkan harta benda, kami sanggup mengumpulkan harta benda buat engkau, sehingga engkau menjadi seorang yang paling kaya diantara kami. Jikalau engkau menghendaki kemuliaan atau ketinggian derajat, maka kami sanggup menetapkan engkau menjadi seorang yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya diantara kami, dan kamilah yang akan memuliakanmu. Jikalau engkau ingin menjadi raja, maka kami sanggup mengangkat engkau menjadi raja kami, yang memegang kekuasaan diantara kami, yang memerintah kami dan kami semuanya tidak akan berani memutuskan sesuatu perkara melainkan dengan idzinmu atau dari keputusanmu. Jikalau engkau menghendaki wanita-wanita yang paling cantik, sedang engkau tidak mempunyai kekuatan untuk mencukupi keperluan mereka, maka kami sanggup menyediakan wanita-wanita bangsa Quraisy yang paling cantik diatara wanita-wanita kami, dan pilihlah sepuluh orang atau berapa saja menurut kehendakmu, dan kamilah yang akan mencukupi keperluan mereka masing-masing, dan engkau tidak usah memikirkan keperluan mereka itu. Jikalau engkau sedang sakit, maka kami sanggup mengikhtiarkan obat dengan harta benda kami sampai engkau menjadi sehat kembali, sekalipun untuk itu harta benda kami habis, asalkan engkau sehat kembali, tidak apalah. Dan jikalau engkau menghendaki atau menginginkan hal-hal yang lain selain hal-hal itu, maka cobalah engkau katakan kepadaku, asal engkau mau menghentikan perbuatanmu seperti yang sudah-sudah ! Cobalah engkau katakan kepadaku, pilihlah salah satu dari hal-hal yang telah aku katakan, mana yang engkau suka, katakanlah padaku".

Ketika 'Utbah berkata-kata begitu, Nabi SAW diam sambil mendengarkan. Setelah itu beliau bertanya : "Apakah sudah selesai hal-hal yang engkau katakan kepadaku ?".

'Utbah menjawab : "Ya, saya selesaikan sekian dulu".

Lalu Nabi SAW bersabda, "Baiklah sekarang saya minta engkau mendengarkan perkataanku, sebagai jawaban kepadamu. Sukakah engkau mendengarkannya ?".

'Utbah menjawab, "Baiklah katakanlah kepadaku sekarang juga !".

Nabi SAW lalu membaca ayat-ayat Al-Qur'an firman Allah yang telah diturunkan kepada beliau beberapa hari yang lalu :

Haa Miim, Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (dari padanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, "Hati kami tertutup dari apa yang kamu serukan kami kepadanya, di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka berbuatlah (sekehendak kamu) sesungguhnya kami akan berbuat (pula)". Katakanlah, "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah berpegang teguh kepada agama-Nya dan mohon ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan(Nya), (yaitu) orang-orang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya". Katakanlah, "Apakah sesungguhnya patut kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya ? (Yang bersifat) demikin itulah Tuhan semesta alam". Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh diatasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa", keduanya menjawab, "Kami akan datang dengan suka hati". Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling maka katakanlah, "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan kaum Tsamud". Ketika rasul-rasul datang kepada mereka dari depan dan dari belakang (menyerukan), "Janganlah kamu menyembah selain Allah". Mereka menjawab, "Kalau tuhan kami menghendaki tentu Dia akan menurunkan Malaikat-malaikat-Nya, maka sesungguhnya kami kafir kepada wahyu yang kamu diutus membawanya".[Fushshilat : 1 - 14].

Baru sampai sekian Nabi SAW membaca ayat-ayat Al-Qur'an, maka dengan segera 'Utbah memotongnya, "Cukuplah Muhammad, cukuplah sekian dulu Muhammad, cukuplah sekian saja ! Apakah engkau dapat menjawab dan berkata dengan yang lain selain dari itu ?".

Nabi SAW menjawab, "Tidak !".

'Utbah bin Rabi'ah lalu diam, tidak dapat berkata lebih lanjut, semua yang hendak dikatakan, hilang musnah dengan sendirinya, segala rencana yang hendak dikemukakan untuk memperdayakan Nabi SAW lenyap dengan tidak disangka-sangka, bahkan hatinya sangat tertarik oleh bacaan yang didengarnya dari Nabi SAW. Oleh sebab itu, dengan segera ia lalu pulang ke rumahnya dengan membawa suatu perasaan yang sebelumnya tidak pernah dirasakannya.

Setelah 'Utbah kembali dari menemui Nabi SAW, beberapa hari ia hanya tinggal di rumah saja dan tidak berani keluar untuk menunjukkan mukanya kepada orang-orang yang mengutusnya. Karena malu menam-pakkan kegagalannya kepada mereka yang telah percaya kepadanya dan mengutusnya.

Oleh sebab itu para pemuka musyrikin Quraisy lalu datang ke rumahnya, untuk menanyakan tentang hasil yang diperolehnya sebagai seorang utusan yang terhormat. Pada waktu itu 'Utbah sangat berdebar hatinya, sangat pucat mukanya, karena dari ketakutannya kepada mereka. Sekalipun begitu, namun terpaksa ia melaporkan apa yang telah dikerjakannya sebagai seorang utusan yang amat dipercaya, mengutarakan hasilnya ketika bertemu dengan Nabi SAW, dan menerangkan jalannya percakapan antara dia dengan Nabi SAW, serta ucapan Nabi SAW sebagai jawaban atas pembicaraannya.

'Utbah terpaksa melaporkan kepada mereka, karena diantara mereka ada yang mendesaknya dengan cara mengejek, dia mengatakan,  

"Sesungguhnya 'Utbah telah datang dari pertemuannya dengan Muhammad, tetapi kedatangannya kepadamu sekarang ini dengan wajah yang lain dari wajahnya ketika ia pergi kepada Muhammad".

Kemudian mereka berkata kepada 'Utbah, "Apa yang ada di belakangmu, wahai Abul Walid ?".

Lalu kata 'Utbah,  

"Demi Allah, aku sudah menyampaikan kepada Muhammad semua yang diserahkan kepadaku. Sedikitpun aku tidak tinggalkan apa yang kamu katakan kepadaku, untuk kukemukakan kepada Muhammad, bahkan aku menambah beberapa keterangan yang sangat jitu dan penting pula".

Mereka berkata : "Ya, lalu bagaimana ? Apakah Muhammad memberi jawaban kepadamu ?".

'Utbah menjawab :  

"Ya, dia memberi jawaban kepadaku, tetapi demi Allah, aku tidak mengerti yang diucapkan oleh Muhammad. Sungguh, sedikitpun aku tidak mengerti, melainkan aku mendengar darinya, bahwa ia mengancam kamu semua dengan petir, seperti petir yang diperguna-kan untuk membinasakan kaum 'Ad dan Tsamud".

Salah seorang dari mereka berkata :  

"Celakalah engkau hai 'Utbah ! Mengapa engkau sampai tidak mengerti perkataannya ? Sedang ia ber-bicara dengan bahasa Arab, dan engkau berbicara kepadanya dengan bahasa Arab juga".

'Utbah menjawab : "Demi Allah ! Sungguh aku sama sekali tidak dapat mengerti perkataannya, melainkan ia menyebut-nyebut kata Shaa'iqah(petir)".

Mereka berkata : "Mengapa begitu, hai 'Utbah ?".

'Utbah menjawab :  

"Demi Allah ! Selama hidupku belum pernah mendengar perkataan seperti perkataan Muhammad yang diucapkannya kepadaku. Karena perkataannya itu, kalau kuanggap syi'ir bukanlah syi'ir, karena ia memang bukan ahli syi'ir; dan kalau kuanggap perkataan tukang ramal, ia bukan seorang tukang ramal; dan kalau kuanggap perkataan orang gila, ia bukan orang gila. Sungguh perkataannya yang telah kudengar itu akan ada satu urusan penting. Sebab itu pada waktu itu aku tidak dapat menjawab perkataannya sepatahpun".

Selanjutnya, 'Utbah lalu mengemukakan harapan kepada mereka, "Sekarang sebaiknya Muhammad itu dibiarkan saja. Biarlah ia meneruskan usahanya itu, karena seruannya yang telah kudengar itu benar dan nyata semuanya ! Kita janganlah menghalang-halangi usaha-nya atau mengganggu perbuatannya atau merintangi seruannya ! Biar-kan bagaimana juga, biarlah ia terus, dan siapasaja yang akan mengikut kepadanya, biarkanlah !".

Lebih lanjut, 'Utbah berkata :  

"Demi Allah ! Sebenarnya, seruan Muhammad itu, yang sering kudengar, semuanya adalah hal yang besar gunanya. Sebab itu, jikalau seruannya itu makin tersiar di kalangan kita, maka kiranya kamu akan memperoleh kehidupan yang sempurna, sehing-ga kamu akan dapat menaklukkan bangsa lain, dan dapat pula mengua-sai daerah bangsa lain. Bahkan apabila Muhammad itu mendapat keme-nangan, maka kemenangan Muhammad itu berarti kemenangan kamu, dan kekuasaan Muhammad itu berarti kekuasaan kamu; sehingga kamu akan menjadi suatu bangsa yang paling mulia, paling menang, paling gagah, paling berani dan paling ditakuti oleh bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Karena kamu mempunyai orang seperti Muhammad. Oleh sebab itu baiklah sekarang biarkan sajalah Muhammad, dan biarkanlah saja seruannya !".

Mereka lalu berkata kepada 'Utbah : "Oh, celakalah engkau hai Abul-Walid ! Sebab sekarang engkau rupa-rupanya telah kena sihir Muhammad, dan agaknya engkau sudah terpengaruh oleh kata-kata yang biasa diucapkan oleh Muhammad".

'Utbah menjawab : 

"Tidak begitu ! Sama sekali tidak ! Demi Allah ! Semua perkataan yang saya katakan tadi adalah perkataanku sendiri, dari buah fikiranku sendiri, dari hasil pendengaranku sendiri bukan karena aku telah tersihir oleh Muhammad !".

Mereka berkata : "Kalau memang betul engkau tidak terkena sihir Muhammad, cobalah engkau datang sekali lagi kepadanya, dan berundinglah sekali lagi dengan dia, agar ia jangan sampai melanjutkan perbuatannya seperti yang sudah-sudah itu. Tentang caramu berunding, terserah atas kepandaian dan kecakapanmu. Kami sudah percaya kepadamu. Cobalah datang lagi kepadanya !".

Oleh 'Utbah permintaan mereka itu diterima dengan gembira. Karena dengan kesombongannya ia masih merasa akan dapat menundukkan dan memperdayakan Nabi Muhammad SAW !.

Sumber : Ensiklopedia Sejarah Muhammad

Abu Dzar Al-Ghifari


Di lembah Waddan, sebuah tempat yang menghubungkan Mekkah dengan dunia luar, tersebutlah sebuah suku bernama Suku Ghifar. Suku ini hidup dari upeti yang diberikan oleh rombongan-rombongan dagang yang hilir mudik antara Syria dan Mekkah. Mereka akan menyerang rombongan-rombongan itu bilamana tidak mendapatkan apa yang diperlukannya.

Jundub bin Junadah, juga dipanggil Abu Dzar, adalah salah seorang anggota suku ini.

Orang ini dikenal kerana keberanian dan ketenangannya, wawasannya yang jauh, juga kerana kebenciannya atas penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang di antara sukunya. Ia menentang kepercayaan jahiliah dan cara-cara beragama yang melencong di kalangan masyarakat Arab kala itu.

Tatkala ia berada di padang pasir Waddan, sampailah kabar kepadanya tentang sesosok Nabi baru dari Mekkah. Ia berharap kemunculan Nabi ini akan membawa perubahan dalam hati dan alam pikiran orang-orang dan sanggup mengangkat mereka dari kegelapan takhayul. Maka, tanpa membuang waktu lagi, dipanggillah Anis, saudaranya:

"Pergilah ke Mekkah dan carilah kabar sebanyak-banyaknya tentang orang yang mengaku Nabi ini dan tentang wahyu yang turun kepadanya. Dengarkan baik-baik apa yang diucapkannya lalu kembalilah, dan ceritakan semuanya kepadaku."

Berangkatlah Anis ke Mekkah dan ditemuilah Sang Nabi, shalallahu alaihi wassalaam. Ia dengarkan baik-baik apa-apa saja yang diucapkannya, lalu ia pun kembali ke padang Waddan. Abu Dzar menemuinya, tidak sabar ingin mendengarkan berita tentang Nabi.

"Di sana ada seorang lak-laki," kisah Anis, "ia mengajak orang-orang kepada sifat-sifat mulia, tidak hanya dengan syair-syair."

"Apa kata orang tentangnya?" tanya Abu Dzar.

"Mereka bilang ia penyihir, tukang ramal dan penyair."

"Ini belum cukup bagiku. Maukah kau menjaga keluargaku selama aku pergi? Aku ingin menyelidikinya sendiri."

"Baiklah. Tapi berhati-hatilah dengan orang-orang Mekkah."

Sesampai di Mekkah, Abu Dzar sangat cemas dan merasa harus mengambil langkah waspada. Orang-orang Quraisy di Mekkah sedang marah kerana penghinaan terhadap berhala-berhala mereka. Ia juga mendengar kabar tentang berbagai kekerasan yang dialami para pengikut Nabi ini dan situasi inilah yang memang harus ia hadapi. Lantaran tidak tahu siapa kawan siapa lawan, ia menahan diri untuk tidak bertanya kepada siapa pun tentang Muhammad.

Saat senja menjelang, ia merebahkan tubuhnya di Masjidil Haram. Ali bin Abi Thalib r.a., tatkala melewatinya dan menyadari ada seorang asing di Masjid, mengajaknya untuk singgah ke rumahnya. Abu Dzar melewati malam bersama Ali dan ketika pagi hari tiba, ia bergegas meraih kantung air dan tas perbekalannya, kembali ke Masjidil Haram. Ia sama sekali tidak bertanya, juga tak seorang pun menanyakan tentangnya.

Abu Dzar menghabiskan hari itu tanpa memperoleh kabar apa-apa tentang Nabi. Begitu matahari tenggelam, ia kembali ke Masjidil Haram untuk tidur dan Ali sekali lagi melewatinya, seraya berkata:

"Tidakkah ini saatnya seseorang kembali ke rumahnya?"

Abu Dzar pun menemaninya dan menginap di rumah Ali di malam kedua. Lagi-lagi, tidak ada satu pun pertanyaan terlontarkan.

Namun di malam ketiga, Ali mulai bertanya kepadanya, "Maukah kau ceritakan padaku apa maksud tujuanmu ke Mekkah?"

"Hanya bila kau berjanji akan membawaku kepada apa yang ku cari," pinta Abu Dzar.

Ali setuju. Maka Abu Dzar pun lalu melanjutkan:

"Aku datang ke Mekkah dari tempat yang jauh hendak bertemu Nabi baru dan mendengarkan nasihatnya."

Wajah Ali tampak berseri-seri, "Demi Tuhan, ia memang seorang Utusan Allah," dan Ali pun melanjutkan bercerita tentang Nabi dan apa-apa saja yang diajarkannya. Lalu ia berkata:

"Selepas bangun di pagi hari nanti, ikutilah aku kemana aku pergi. Jika aku merasakan sesuatu yang membahayakan keselamatanmu, aku akan berhenti sejenak seperti hendak melompati genangan air. Jika ku lanjutkan lagi langkahku, ikuti sampai aku masuk ke tempat di mana aku masuk."

Abu Dzar tidak dapat tidur pada malam itu kerana tidak sabar bertemu Nabi dan mendengarkan petua-petuanya. Tatkala pagi pun menjelang, diikutinya langkah-langkah Ali sampai ke tempat Nabi berada.

"Assalaamu 'alaika yaa Rasulullah," ujar Abu Dzar memberi salam.

"Wa 'alaika salaamullahi wa rahmatullahi wa barakatuh," jawab Nabi.

Abu Dzar adalah orang pertama yang memberi salam kepada Nabi dengan ucapan demikian. Setelah hari itu, ucapan salam ini pun menyebar dan dipakai secara luas di kalangan Muslim.

Nabi mempersilakan Abu Dzar dan mengajaknya untuk masuk ke dalam Islam. Nabi membacakan beberapa ayat Al-Qur'an kepadanya. Seketika itu pula, Abu Dzar mengucapkan Kalimah Syahadah dan memeluk agama baru ini. Ia adalah salah seorang dari generasi awal pemeluk Islam.

Setelah itu, aku tinggal bersama Nabi di Mekkah. Ia mengajariku tentang Islam dan membaca Al-Qur'an. Ia berkata kepadaku, "Jangan ceritakan kepada siapa pun di Mekkah tentang agamamu ini. Aku khuatir mereka akan membunuhmu."

"Demi yang menggenggam jiwaku di tangan-Nya, aku tidak akan meninggalkan Mekkah sampai aku berdiri di Masjidil Haram dan mewartakan ajaran Kebenaran ini di tengah-tengah kaum Quraisy," janji Abu Dzar.

Nabi terdiam. Aku pun beranjak pergi ke Masjidil Haram. Di sana, kaum Quraisy sedang duduk dan berbincang-bincang. Aku berjalan ke tengah-tengah mereka dan berteriak sekuat tenagaku, "Wahai kaum Quraisy, aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah!"

Ucapanku itu mengusik perhatian mereka. Seketika itu pula mereka menyerbuku, "Tangkap orang itu yang telah meninggalkan agamanya!" Mereka memukuliku sejadi-jadinya, dan betul-betul hendak membunuhku. Namun Abbas bin Abdul Muthalib, bapa saudara Nabi, ia mengenaliku. Ia merunduk dan melindungiku. Katanya di depan orang-orang:

"Celaka kalian! Apakah kalian akan membunuh seorang dari Suku Ghifar sementara rombongan kalian masih melalui wilayah mereka?"

Mereka pun melepaskanku. Lalu aku kembali ke tempat Nabi. Ketika ia melihat keadaanku, ia berkata, "Bukankah aku telah melarangmu untuk menceritakan keislamanmu di depan orang-orang?"

"Wahai Rasulullah," jawabku, "ini adalah gejolak di dalam jiwaku dan kini aku telah memenuhinya."

"Pergilah kepada kaummu," perintah Nabi, "ceritakan apa yang telah kau lihat dan dengar. Undang mereka kepada ajaran Allah. Semoga Allah menganugerahkan kebaikan kepada mereka melaluimu, dan memberimu pahala melalui mereka. Nanti saat kau dengar aku telah membuka diri, datanglah kepadaku."

Aku pun bergegas pergi dan menemui kaumku. Saudaraku menyambutku dan bertanya, "Apa yang telah kau lakukan?" Aku kabarkan kepadanya bahwa aku kini seorang Muslim dan percaya pada kebenaran yang dibawa oleh Muhammad.

"Aku tidak menentang agama barumu ini. Bahkan mulai kini aku pun seorang Muslim dan percaya kepada Muhammad," sahutnya.

Kami bersama menemui ibu kami dan mengajaknya untuk memeluk Islam.

"Aku tidak ada masalah dengan agamamu. Aku pun memeluk Islam," ujar ibuku.

Semenjak hari itu pula, keluarga Muslim ini tidak henti-hentinya, tanpa kenal lelah, mengajak orang-orang Ghifar untuk memeluk ajaran Allah. Banyak orang dari suku ini kemudian menjadi kaum Muslim, bahkan solat berjamaah pun didirikan di antara mereka.

Sumber : Ensiklopedia Sejarah Muhammad

ABU BAKAR AS SIDDIQ


Di era dakwah Islam masih secara sembunyi, sahabat pertama yang memberanikan diri membuat seruan secara terbuka mengajak masyarakat Mekah kepada ajaran Rasulullah saw ialah Abu Bakar juga. Walau pun berkali-kali diingatkan Baginda saw agar tidak berbuat demikian kerana dikhuatiri akan menjadi mangsa belasahan dan serangan kaum Quraisy, hal itu semacam tidak menghalang Abu Bakar meneruskan hasratnya.

Diceritakan bagaimana beliau suatu hari mengambi keputusan membawa sebilangan sahabat yang telah memeluk Islam ke Baitullah. Rasulullah saw diriwayatkan ikut serta, tetapi hanya duduk di penjuru Kaabah. Manakala Abu Bakar berdiri memberikan ucapan kepada orang ramai, menyeru mereka kepada Allah dan RasulNya.

Keberaniannya itu telah mencabar keegoan kaum musyrikin. Ucapannya yang terus terang mengajak kepada Islam mengundang kemarahan mereka. Abu Bakar dan para sahabat lain lalu dibelasah, sehingga ada yang luka-luka dan tercedera.

Abu Bakar sendiri jatuh pengsan lantaran dipukul teruk. Mujur juga berita kejadian itu segera sampai ke pengetahuan Bani Tamim, kabilah asal keturunan Abu Bakar. Mereka pun bergegas menyelamatkan beliau dan membawanya pulang. Bahkan, di antara anggota Bani Tamim itu sempat memberi amaran kepada kumpulan musyrikin yang bertanggungjawab mencederakan beliau agar bersedia menghadapi pembalasan mereka sekiranya kecederaan Abu Bakar itu meragut nyawanya.

Namun, seperkara amat menarik ialah reaksi spontan Abu Bakar sendiri tatkala sedar dari pengsannya. Apa agaknya kata-kata pertama beliau? Ya, tidak lain yang terlintas di fikirannya melainkan orang paling disayanginya, Rasulullah saw.

“Bagaimana keadaan Rasulullah?”, itulah soalan pertama ditanyakan Abu Bakar.

Sumber : Ensiklopedia Sejarah Muhammad

PERTEMUAN NABI DENGAN PENDITA NASRANI


Dalam suatu cerita disaat nabi saw, pergi ke Syam, saat itu ditemani oleh Maisarah yang merupakan pembantu setianya Khadijah. saat itu nabi saw belum menikah dengan khadijah. Maisarah diperintahkan untuk mengawasi  kelakuan dan perbuatan yang dilakukan nabi selama perjalanan oleh Khadijah.

Di sepanjang perjalanan mulai dari mekah sampai Syam, sikap dan kebiasaan yang dilakukan Nabi saw dangat berbeda dengan orang lain. ketika semua orang berhenti di suatu tempat pemberhentian kafilah dan suka berkumpul di tempat pemberhentian itu, tetapi nabi saw lebih suka menyendiri dan beristirahat di tempat terpencil.

Maisarah terheran akan sikap dan kebiasaan Nabi saw. ketika Nabi saw sampai di Syam, beliau turun di pasar Bushra. Di tempat itu nabi saw lebih memilih menyendiri dan tidak berkumpul dengan kawan-kawannya, lalu beliau beristirahat di suatu tempat di bawah pohon yang besar yang letaknya dekat dengan pasar.

ketika itu Maisarah meninggalkan nabi saw sebentar, hendak menemui seorang kenalannya. ketika di tengah perjalanan, tiba-tiba ia ditemui seorang pendeta yang bernama Masthura. lalu pendeta tersebut memberi salam dan bertanya kepada Maisarah, " siapakah pemuda yang duduk di bawah pohon besar itu?"tanya pendeta.

Maisarah menjawab," pemuda itu berasal dari tanah haram(Mekah), ia keturunan Quraisy."

selanjutnya sang pendeta bertanya," Adakah dalam kedua matanya tanda merah?".

jawab Maisarah,"Ya"

"itu dia dan dia itulah penghabisan nabi-nabi Allah. Mudah-mudahan aku nanti dapat mengetahui di kala di angkat menjadi nabi," demikian kata pendeta.

selanjutnya pendeta berkata," Tidak ada seorang pun yang berani berteduh di bawah pohon itu, melainkan dia adalah seorang yang akan menjadi nabi dan pesuruh Allah. kemudian, pendeta itu pergi menemui nabi saw. di bawah pohon itu dan sesudah mengetahui sifat atau tanda yang ada pada wajah beliau, ia seketika mencium kepala dan kaki nabi saw, lalu berkata," aku percaya kepada engkau dan aku menyaksikan bahwasanya engkaulah yang telah disebutkan Allah dalam kitab."

kemudian , dia berkata," Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah melihat tanda-tanda kenabian yang ada pada dirimu, sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab-kitab kuno." setelah memperhatikan nabi, lalu pendeta itu berkata" Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan saya menyaksikan bahwasanya engkau itu rasul Allah lagi nabi yang ummy, yang pernah diberitakan dengan kegembiraan oleh Isa ibnu maryam, karena beliau pernah berkata," tidak akan turun pada masa kemudian dariku di bawah pohon ini melainkan seorang nabi yang ummy lagi dari bangsa arab keturunan Hasyim serta berasal dari penduduk Mekah.

demikianlah keadaan dan kejadian yang mengherankan dalam perjalanan Nabi saw ke negeri Syam pada waktu itu, nabi saw belum di angkat dan ditetapkan menjadi nabi dan rasul Allah.

Sumber : Ensiklopedia Sejarah Muhammad

TENTARA GAJAH MENYERANG MEKAH


Abrahah membina sebuah gereja yang dinamakan "al Qulais" yang didirikan di Sana'a. Gereja itu cantik hingga tidak ada tandingannya pada zaman itu.

Abrahah menulis kepada Najasyi, Raja Habsyah dengan memberitahu bahawa dia telah membina sebuah gereja yang cantik, belum pernah dibina oleh orang lain. Tujuannya adalah mahu memalingkan orang-orang Arab daripada pergi menunaikan haji di Makkah kepada melawat ke gereja yang dinamakannya al-Qulais.

Kaabah telah menjadi tempat kunjungan orang-orang Arab sebelum kedatangan Nabi Muhammad S.A.W. Setelah Kaabah didirikan oleh Nabi Ibrahim, Kaabah menjadi tempat ibadat. Kemudian dalam beberapa tempoh yang panjang, orang Arab mula menyembah berhala. Walaupun mereka menyembah berhala, tetapi mereka tetap memuji dan memuja Kaabah. Mereka menunaikan haji pada tiap-tiap tahun, di mana ibadat haji merupukan ibadat yang telah dilakukan sebelum kedatangan Islam, kemudian dinyatakan oleh Islam dan diperbetulkan mengikut syariat Allah.

Orang-orang Arab masih tetap mengunjungi Kaabah. Abrahah membuat pengisytiharan bahawa dia tidak mahu orang-orang Arab mengunjungi Kaabah tetapi mengunjungi al Qulais. Apabila mendengar berita demikian, orang-orang Arab yang terlalu memuja Kaabah menjadi marah. Tiba-tiba seorang Arab dari kabilah "an Nasah" pergi ke Yaman, datang ke gereja al Qulais, lalu membuang najis di situ. Selepas itu, dia melarikan diri.

Setelah Abrahah mengetahui orang yang membuat perkara ini adalah seorang Arab, dia telah mengambil satu tindakan berani mengikut hawa nafsu dengan menyediakan satu kelengkapan untuk bermusafir ke Makkah bertujuan hendak meruntuhkan Kaabah, BaitilLah Haram yang telah didirikan oleh Nabi Ibrahim A.S. Dia bersumpah bahawa dia wajib pergi Baitillah dan meruntuhkannya.

Dalam angkatan tenteranya ada seekor gajah yang digunakan sebagai kenderaan. Mengikut sesetengah ulama seekor gajah, sebahagian ulama lain pula berpendapat bukan seekor, tetapi lapan ekor gajah menyertai pasukan Abrahah. Namun begitu mengikut kebanyakan ulama, jumlah gajah tersebut hanya seekor sahaja. Inilah keterangan yang lebih tepat pada pandangan mereka bahawa Abrahah bersama seekor gajah dan turut diiringi anggota tenteranya menuju ke Makkah.

Apabila berita ini sampai ke pengetahuan orang-orang Arab bahawa Abrahah hendak meruntuhkan Kaabah, maka beberapa kabilah bertindak membentuk beberapa pasukan untuk menyerang Abrahah bertujuan untuk menghalangnya daripada sampai ke Makkah. Di utara sebuah kabilah Zu Nahar, merupakan satu kabilah Arab di Yaman. Mereka mengerahkan kaumnya membentuk satu pasukan, untuk menyerang Abrahah. Namun, hanya dengan kekuatan 1% sahaja tentera-tentera Abrahah dapat mengalahkan mereka. Beberapa kabilah lain turut menyerang pasukan Abrahah, tetapi masih tidak mampu mengalahkan mereka, bahkan ketua-ketua kabilah ini telah ditawan oleh tentera Abrahah.

Terdapat juga di kalangan orang Arab yang sanggup menjadi pemandu jalan kepada Abrahah. Apabila Abrahah menang, sudah tentu dia juga ikut menang. Biarpun apa yang dimenangi itu salah. Penunjuk jalan ini dikenali sebagai "Abu Ghiral". Abu Ghiral menjadi penunjuk jalan kepada Abrahah menuju ke Makkah. Setelah Abu Ghiral meninggal dunia, kuburnya direjam oleh orang Arab. Orang Arab yang pergi ke Makkah menunaikan haji bukan sahaja melontar jamrah, bahkan juga melontar kubur Abu Ghiral.

Abrahah meneruskan perjalanan sehingga sampai ke pinggir Makkah dan merampas beberapa ekor unta. Mengikut riwayat 200 ekor unta milik Abdul Mutalib, datuk Rasulullah S.A.W. Pada masa itu, Abdul Mutalib menjadi pemimpin Makkah. Abrahah telah menghantar utusannya menemui pemimpin-pemimpin Makkah memberitahu tujuan kedatangan mereka bukan untuk membunuh orang, tetapi untuk meruntuhkan Kaabah, kerana dendam gereja mereka yang bernama "al Qulais" telah dikotorkan oleh orang Arab.

Abdul Mutalib datang bersama-sama rombongan yang dianggotai pemimpin-pemimpin Arab menemui Abrahah. Setelah berjumpa, Abrahah bertanya apa yang dikehendaki. Abdul Mutalib menjawab, "Aku hanya minta kamu membebaskan 200 ekor unta yang kamu rampas."

Abrahah tercengang lalu bertanya, "Kenapa kamu sayangkan unta tetapi tidak sayang kepada Kaabah yang kamu puja. Kamu hanya minta unta, terlalu senang untuk kami berikan. Kamu hanya minta dikembalikan unta kamu. Kenapa kamu tidak menahan kami yang mahu meruntuhkan Kaabah."

Abdul Mutalib menjawab tegas, "Unta yang kamu rampas itu kepunyaanku sedangkan Kaabah itu ada pemiliknya (Tuhan). Allah adalah pemiliknya dan Allah akan menjaganya. Aku hanya orang yang beribadat kepada Kaabah. Urusan menjaga Kaabah terserah kepada pemiliknya dan bukan urusanku."

Unta Abdul Mutalib dipulangkan. Setelah dipulangkan, Abdul Mutalib dan pengikut-pengikutnya penduduk Makkah pulang dan mereka menyembunyikan diri di atas bukit kerana takut kepada tentera Abrahah. Sudah tentu ada di antara mereka yang ganas. Mereka menyembunyikan diri di sana sambil memerhatikan tindakan tentera Abrahah ke atas Kaabah. Mengikut setengah riwayat, apabila Abrahah sampai di Kaabah, seorang penduduk Makkah membisikkan ke telinga gajah dengan berkata, "Jangan kamu robohkan Kaabah. Lebih baik kamu balik kerana Kaabah adalah rumah Allah. Yang menjaganya juga Allah."

Allah Taala yang memeliharanya dan Allah Taala juga yang menjaganya. Salah satu perkara yang menakjubkan adalah bala tentera Allah itu ada yang taat dan ada yang tidak taat. Kadang-kadang bala tentera binatang menjadi bala tentera Allah Taala yang lebih taat kepada Allah berbanding manusia yang mempunyai akal fikiran.

Apabila gajah itu dihalakan ke Kaabah, ia pusing ke belakang, duduk dan tidak mahu berjalan, biarpun dipukul teruk. Apabila berpusing ke belakang (arah lain), ia berjalan dan berlari. Apabila dihala ke Syam ia berjalan, dihala ke Yaman ia berjalan, tetapi apabila di hala ke Kaabah semula ia tidak mahu berjalan.

Saat yang cemas ini mengikut riwayatnya, Abdul Mutalib telah bermunajat dan berdoa kepada Allah Taala. Di antara doa yang dibacakan oleh Abdul Mutalib yang bermaksu, "Wahai Tuhan! Sesungguhnya hambamu (Abrahah) telah mencegah dari kalangan hambaMu yang lain dari menunaikan ibadat di Baitullah tanah sucimu. Maka tegahkanlah mereka. Jangan jadikan mereka itu menang dan jadikanlah perancangan mereka suatu yang mustahil. Jika mereka masuk ke tanah haram, maka urusannya terserah padaMu, wahai Tuhan-ku."

Mengikut setengah riwayat lain, Abdul Mutalib memegang halqah pintu Kaabah dan terus berkata, "Wahai Tuhanku, aku tidak berharap kepada mereka melainkan kepadaMu. Wahai Tuhanku, halanglah mereka dengan peliharaanMu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya musuh BaitiLlah datang menceroboh kepadaMu. Sesungguhnya tiada siapa yang dapat mengalahkan kekuasaanMu."

Masyarakat Arab pada waktu itu merasakan kehebatan tentera-tentera bergajah milik Abrahah kerana mereka boleh melakukan apa sahaja dengan kekuatan tentera seperti itu, sedangkan orang Arab pada masa itu tidak ada gajah. Namun, tipu daya yang dilakukan Abrahah dan pengikutnya membina al Qulais dan merancang untuk meruntuhkan Kaabah, menjadi satu kesesatan yang kemudiannya dihapuskan oleh Allah Taala. Allah mengutuskan kepada mereka rombongan burung, yang datang berkawan, rombongan demi rombongan.

Mengikut Said bin Jubair, penghulu para tabi'en, burung ini adalah sejenis burung yang tidak dikenali. Tidak pernah dilihat di bumi. Sesetengah ulama berkata ia seperti kelawar dan pelbagai gambaran. Perbincangan mengenai jenis burung ini menjadi khilaf di kalangan ulama. Pendapat yang paling baik adalah burung ini adalah burung khas yang dihantar oleh Allah. Allah mengutus mereka burung yang berombongan. Burung-burung ini melontarkan kepada mereka dengan batu yang dibakar hangus. Setiap seekor burung membawa tiga biji batu, satu di paruh dan dua di kaki.

Sumber : Ensiklopedia Sejarah Muhammad