Wednesday 25 June 2014

MALAIKAT MAUT KETAWA DAN MENANGIS KETIKA MENCABUT NYAWA


ALLAH swt. bertanya kepada malaikat maut: “Apakah kamu pernah menangis ketika kamu mencabut nyawa anak cucu Adam?”Maka Malaikat pun menjawab: “Aku pernah tertawa, pernah juga menangis, dan pernah juga terkejut dan takut"“Apa yang membuatmu tertawa?”“Ketika aku bersiap-siap untuk mencabut nyawa seseorang, aku melihatnya berkata kepada pembuat sepatu,‘Buatlahsepatu sebaik mungkin supaya blh dipakai selama setahun”.“Aku tertawa kerana belum sempat orang tersebut memakai sepatu dia sudah kucabut nyawanya.”Allah swt. lalu bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”Maka malaikat menjawab: “Aku menangis ketika hendak mencabut nyawa seorang wanita hamil di tengah padang pasir yang tandus, dan hendak melahirkan. Maka aku menunggunya sampai bayinya lahir di gurun tersebut. Lantas ku cabut nyawa wanita itu sambil menangis kerana mendengar tangisan bayi tersebut kerana tidak ada seorang pun yang mengetahui hal itu.”“Lalu apa yang membuatmu terkejut dan takut?”Malaikat menjawab: “Aku terkejut dan takut ketika hendak mencabut nyawa salah seorang ulama Engkau. Aku melihat cahaya terang benderang keluar dari biliknya, setiap kali Aku mendekatinya cahaya itu semakin menyilaukanku seolah ingin mengusirku, lalu kucabut nyawanya disertai cahaya tersebut.”Allah swt bertanya lagi: “Apakah kamu tahu siapa lelaki itu?“Tidak tahu, ya Allah.”“Sesungguhnya lelaki itu adalah bayi dari ibu yang kau cabut nyawanya di gurun pasir gersang itu, Akulah yang menjaganya dan tidak membiarkannya.

500 TAHUN BERIBADAT UMPAMA DEBU


Dari Jabir r.a. berkata bahawa Rasulullah s.a.w. telah memberitahu kami bahawa Malaikat Jibrail telah memberitahu Rasulullah s.a.w katanya:”Wahai muhammad demi Allah yang mengutusmu sebagai nabi yang besar, sesungguhnya ada seorang hamba Allah yang beribadat selama 500 tahun diatas sebuah bukit yang lebar,panjangnya bukit itu 30 puluh hasta kali 30 hasta dan disekelilingnya ialah air laut yang seluas 4,000 farsakh dari tiap penjuru. Dan di situ Allah s.w.t mengeluarkan air selebar satu jari dan dari bawah bukit dan Allah s.w.t juga telah menghidupkan sebuah pohon delima yang setiap hari mengeluarkan sebiji buah delima. Apabila tiba waktu petang hamba Allah itu pun memetik buah delima itu dan memakannya, setelah itu ia pun sembahyang.

Dalam sembahyang ia telah meminta kepada Allah s.w.t. supaya mematikannya ketika ia dalam sujud, supaya badannya tidak disentuh oleh Bumi atau apa-apa saja sehingga tibanya hari kebangkitan. Maka Allah s.w.t. pun menerima permintaanya.Berkatalah malaikat lagi:”Oleh itu setiap kali kami naik turun dari langit kami melihatnya sedang sujud, kami mendapat dalam ilmu bahawa ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan dihadapkan kepada Allah s.w.t. lalu Allah s.w.t. menyuruh Malaikat:”masukkanlah hambaku itu ke dalam syurga dengan limpah rahmatku:” maka berkata orang itu:”Dengan disebabkan amalku?” Maka Allah s.w.t. menyuruh malaikat menghitung semua amalnya dengan nikmat yang Allah s.w.t. berikan. Apabila penghitungan dibuat maka amal yang dibuat oleh orang itu selama 500 tahun itu telah habis apabila dikira dengan sebelah mata, yakni nikmat pengelihatan yang Allah s.w.t. berikan padanya, sedangkan nikmat-nikmat lain belum dikira.Maka Allah s.w.t. berfirman:”Masukkan ia kedalam neraka”.Apabila ia ditarik ke neraka maka ia pun berkata:”Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam syurga dengan rahmatMu.” Lalu Allah s.w.t. berfirman kepada malaikat:”Bawakan ia ke mari”. Kemudian Allah s.w.t. bertanya orang itu:”Siapakah yang menjadikan kamu daripada tidak ada”Lalu orang itu menjawab:”Engkau ya Allah”.Kemudian Allah s.w.t. bertanya lagi:”Apakah itu kerana amalmu atau rahmatKu?”.jawab orang itu:”Ya Allah, dengan rahmatMu.”Allah s.w.t. bertanya lagi:”Siapakah yang memberikan kekuatan sehingga 500 tahun kamu beribadat?”.Jawab orang itu:”Engkau ya Allah”.Allah s.w.t. bertanya lagi:” Siapakah yang menempatkan kamu diatas bukit yang di tengah-tengah lautan, dan siapakah yang mengeluarkan air tawar yang bersih dari tengah-tengah lautan yang airnya sangat masin dan siapakah yang menumbuhkan sebuah pohon delima yang mengeluarkan sebiji delima setiap hari, pada hal buah itu hanya berbuah setahun sekali lalu kamu meminta supaya aku matikan kamu dalam sujud, jadi siapakah yang membuat semua itu?”lalu orang itu berkata:”Ya Allah, ya Tuhanku engkaulah yang melakukanya.”Allah s.w.t. berfirman:”Maka semua itu adalah dengan rahmatKu dan kini aku masukkan kamu ke dalam syurga juga adalah dengan rahmatKu.

”Malaikat Jibrail berkata:”Segala sesuatu itu terjadi hanya dengan rahmat Allah s.w.t. Amal yang dibuat oleh seseorang itu tidak akan dapat menyamai walaupun setitik debu sekalipun dengan nikmat yang Allah s.w.t. berikan pada hambanya, oleh itu janganlah mengharapkan amal kita itu akan dapat memasukkan kita ke dalam syurga Allah s.w.t. sebaliknya memohonlah dengan rahmatNya.Sebab hanya dengan rahmat Allah s.w.t. sajalah seseorang itu dapat memasuki syurgaNya.


Sumber : Kitab Lubab Hadis Karangan Imam Sayuti 

SIRAH NABI : ABU DZAR AL-GHIFARI TOKOH GERAKAN HIDUP SEDERHANA


Ia datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan teriknya matahari yang menyengat tubuhnya cukup menyakitkan. Namun tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan meniupkan semangat kegembiraan.

Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan tawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka'bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.

Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang mengatakan tentang Rasulullah, ia pun mendekat dan mendengar dengan hati-hati. Sehingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat mengarahkannya ke kediaman Nabi Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau. 

Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian menyapa, "Selamat pagi, wahai kawan sebangsa."

"Wa alaikum salam, wahai sahabat," jawab Rasulullah.

"Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"

"Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur'an yang mulia," kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah SWT. 

Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya."

"Anda dari mana, kawan sebangsa?" tanya Rasulullah.

"Dari Ghifar," jawabnya.

Bibir Rasulullah mengukir senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, kerana ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.

Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya..."

Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusi. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.

Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. "Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?"

"Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!" jawab Rasulullah.

"Demi Tuhan yang menguasai jiwaku," kata Abu Dzar, "Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka'bah."

Ia pun menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah berkumpul di sana. Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.

Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan panjang yang terdiri atas para penunggang dan pejalan kaki menuju pinggiran kota. Kalau bukan kerana takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.

Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.

Rasulullah semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda, "Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya."

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepadanya. "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil wanh untuk diri mereka?"

Ia menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!"

"Mahukah kau ku tunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!"

Abu Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.

Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafa Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu. 

Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku penyelewengan.

Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan. "Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!"

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jawatan dan harta kekayaan.

Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, isterinya menangis di sisinya. Ia bertanya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?"

Isterinya menjawab, "Kerana engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"

"Janganlah menangis," kata Abu Dzar, "Pada suatu hari, ketika aku berada di majlis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.' 

Semua yang ada di majlis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!"

Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi... Dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lalu dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.

Ketika memandang Ibnu Mas'ud ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengalir deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!"

SIRAH NABI : MU'ADZ BIN JABAL PELITA ILMU DAN AMAL


Tatkala Rasulullah mengambil baiat dari orang-orang Anshar pada perjanjian Aqabah yang kedua, diantara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat. Perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona kerananya. Nah, itulah dia Mu'adz bin Jabal RA.

Dengan demikian, ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut baiat pada Perjanjian Aqabah kedua, hingga termasuk Ash-Shabiqul Awwalun—golongan yang pertama masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti demikian, mustahil tidak akan turut bersama Rasulullah dalam setiap perjuangan. 

Maka demikianlah halnya Mu'adz. Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan keitstimewaannnya yang utama ialah faqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam faqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu'adz bin Jabal."

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?" 

"Kitabullah," jawab Mu'adz. 

"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula. 

"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul." 

"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"

"Saya pergunakan fikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diredhai oleh Rasulullah," sabda beliau.

Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqah, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram". 

Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majlis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah SAW. 

Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan, hitam manis warna kulitnya, bersih, baik tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu yang segera memberikan fatwanya. 

"Dan ia tak berbicara kecuali bila diminta. Dan tatkala majlis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya, ia menjawab, saya adalah Mu'adz bin Jabal," tutur A'idzullah.

Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama-sama meminta pendapatnya kerana kewibawaannya."

Dan Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sendiri sering meminta pendapat dan buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal, akan celakalah Umar!" 

Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika mereka berbeza pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara." 

Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum 33 tahun!

Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk-seluk Agama. 

Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu'adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar kekayaan Mu'adz itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu'adz dan mengemukakan masalah tersebut.

Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat. 

Oleh sebab itu, usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula. Umar berpaling meninggalkannya. Pagi-pagi keesokan harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"

Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu'adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. "Tidak satu pun yang akan ku ambil darimu," ujar Abu Bakar. 

"Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik," kata Umar menghadapkan pembicaraannya kepada Mu'adz. 

Andai diketahuinya bahwa Mu'adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak sah, maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang saleh itu akan menyisakan baginya. Namun Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang bukan-bukan terhadap Mu'adz. 

Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.

Mu'adz pindah ke Syria (Suriah), di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah—amir atau gabenor di sana serta shahabat karib Mu'adz—meninggal dunia, ia diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria. 

Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri.

Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis solat mengucapkan: 'Ya Allah, bantulah aku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu."

Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat.

Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"

"Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya. 

"Setiap kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat keimananmu?"

"Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu petang. Dan setiap berada di waktu petang, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah pun yang ku langkah, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya. Dan seolah-olah ku saksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka."

Maka sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepaskan!"

Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan."

Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam barzakh, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah.

Sunday 22 June 2014

KISAH NELAYAN MUSLIM DAN NELAYAN KAFIR


Pada zaman dulu, ada dua orang nelayan, seorang mukmin dan seorang lagi kafir. Pada suatu hari kedua-duanya turun ke laut untuk menangkap ikan. Semasa menebar jala, nelayan kafir menyebut nama tuhan berhalanya. Hasil tangkapannya amat banyak. Berlainan pula dengan nelayan mukmin. Apabila menebar jalanya, si-mukmin itu menyebut nama Allah. Hasilnya tidak ada seekor pun ikan yang tersangkut pada jaringnya. 

Hingga ke lewat senja, nelayan mukmin tidak berjaya mendapat sebarang ikan manakala si-kafir itu kembali dengan membawa ikan yang sangat banyak.Meskipun pulang dengan tangan kosong, namun nelayan mukmin itu tetap bersabar serta redha dengan apa yang Allah takdirkan. Si-kafir yang membawa berbakul-bakul ikan pulang dengan rasa bangga dan bongkak.

Malaikat yang melihat keadaan nelayan mukmin ini berasa simpati lalu mengadu kepada Allah. Allah memperlihatkan kepada malaikat tempat yang disediakan olehNya untuk nelayan mukmin itu; iaitu sebuah syurga. Berkata malaikat "Demi Allah, sesungguhnya tidak memberi erti apa-apa pun penderitaan di dunia ini jika dia mendapat tempat di syurga Allah.

"Setelah itu Allah memperlihatkan tempat yang disediakan untuk nelayan kafir. Berkata malaikat "Alangkah malangnya nasib si-kafir. Sesungguhnya tidak berguna langsung apa yang dia dapat di dunia dulu sedangkan tempat kembalinya adalah neraka jahanam."

SIRAH NABI : KISAH BIAWAK PADANG PASIR YANG BERIMAN


Diriwayatkan oleh Ibn Kathir dalam kitab Al-Bidayah Wan-Nihayah bahawa al-Baihaqi menceritakan daripada Abu Mansur Ahmad bin Ali Ad-Damghaniy dari daerah Namin di Baihaq, dalam sebuah kisah yang disampaikan daripada Umar ra."Rasulullah SAW sedang berjalan bersama dengan sekumpulan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badwi daripada Bani Sulaim ke hadapan Rasulullah. Beliau membawa bersamanya seekor biawak padang pasir (dhab) yang ditangkapnya dan bercadang untuk membakar haiwan itu untuk dimakan.

Melihat ramai yang berjalan itu,beliau tertarik untuk mendekati dan bertanya siapakah gerangan yang sedang mereka iringi. Apabila diberitahu bahawa mereka sedang mengiringi Nabi maka dia terus mendekati Nabi lantas berkata "Demi tuhan Lata dan Uzza, tiadalah sesuatu yang terdapat di alam ini yang lebih kubenci daripadamu wahai Muhammad! Kalaulah tidak kerana kaumku memanggilku dengan panggilan yang tergesa-gesa, tentulah aku sudah memenggal kepalamu lalu aku dapat menggembirakan hatiku dan hati semua manusia yang berkulit hitam, putih dan merah serta selainnya.!”Umar Al-Khattab menjadi marah, lalu bangkit dan berkata “Wahai Nabi! Biarlah saya mengakhiri hidupnya!”Nabi SAW tenang menjawab permintaan Umar : “Wahai Umar! Tidakkah egkau tahu bahawa orang yang lemah lembut itu hampir diangkat menjadi Nabi?”. 

Nabi kemudiannya berkata kepada Arab Badwi itu “Apa yang menyebabkan engkau berkata demikian? Sepatutnya engkau menghormatiku dalam perhimpunan bersama sahabatku!”. Arab Badwi tersebut tidak mengalah bahkan sebaliknya berkata “Demi tuhan Lata dan Uzza! Aku takkan beriman kepadamu hai Muhammad hinggalah biawak ini beriman kepadamu,” katanya sambil mengeluarkan biawak itu lalu melemparkannya ke hadapan Nabi SAW. Nabi SAW memanggil biawak itu. Kedengaran biawak itu menjawab dalam Bahasa Arab yang fasih dan difahami oleh semua yang hadir “Ya wahai Nabi SAW.” Nabi bertanya; “Kepada siapakah engkau beriman?”. Jawab biawak itu; “Saya beriman kepada tuhan yang menguasai langit dan a’rasyNya, di bumi itu kekuasaanNya, dan di lautan itu jalanNya dan di syurga itu rahmatNnya dan dalam neraka itu azabNya!”Tanya Nabi lagi; “Aku ini siapa wahai biawak?”. Jawab si biawak; “Tuan adalah utusan Allah, yang memiliki sekelian alam! Amatlah beruntung orang yang mendokong perjuangan tuan, dan binasalah orang yang mendustakan tuan!”. 

Mendengar kata-kata biawak itu, Arab Badwi itu lantas berkata; “Wahai Muhammad! Sebelum ini engkau merupakan orang yang paling aku benci, tetapi hari ini engkau adalah orang yang paling aku kasihi berbanding dengan bapaku, diriku sendiri, engkau amatku kasihi zahirku dan batinku.” Kemudian beliau mengucapkan kalimah syahadah di hadapan semua yang hadir.

Thursday 19 June 2014

KISAH PENYANYI DAN SUARA AZAN


Dihikayatkan ada seorang perempuan yang bernama Siti Zubaidah. Siti Zubaidah adalah tergolong di dalam golongan orang yang suka pada muzik dan juga tergolong di dalam golongan orang yang memiliki harta kekayaan.Di samping itu, dia telah membina satu tempat khusus untuk berehat, tempat minum dan tempat mendengar muzik di mana dia mempunyai beberapa orang penyanyi yang menjadi penghiburnya tetapi apabila terdengar seruan azan, serta merta dia memerintahkan orang-orang yang menghiburnya berhenti sejenak daripada menyanyi sehinggalah selesai azan, maka dia menjawab seruan azan. Setelah selesai azan, barulah disambung semula nyanyian itu. Hanya itulah amalan yang sentiasa di amalkan olehnya.Apabila Siti Zubaidah telah meninggal dunia. 

Setengah daripada orang-orang soleh telah bermimpi menjumpai Siti Zubaidah. Di dalam mimpi tersebut, mereka bertanya kepadanya: "Apakah balasan Allah terhadapmu?"Jawab Siti Zubaidah: "Dengan berbanyak bersyukur bahawa Allah telah mengampuni segala dosa-dosaku"Tanya orang-orang soleh: "Ibadah apakah yang menyebabkan engkau diampuni oleh Allah? Apakah dengan sebab engkau membuat kolam air pada jalan antara Makkah dan Madinah?"Jawabnya: "Tidak,bukan amalan itu, kerana orang lain juga turut serta membuat kolam itu dengan mengunakan harta-harta mereka juga, bukan hanya aku seorang."Tanya mereka lagi: "Maka ibadah apakah yang menyebabkan engkau mendapat keampunan dari Allah sedangkan engkau tiada banyak beramal ibadah selain berjihad membuat kolam antara Makkah dan Madinah sahaja"Jawab Siti Zubaidah: "Memang aku tidak banyak beramal ibadah tetapi pada masa hidupku, aku mempunyai satu majlis hiburan. Apabila terdengan seruan azan oleh muazzin, maka aku palingkan hatiku dari bermain-main dan bergendang bagi menjawab seruan azan hinggalah seruan azan selesai."Jawab Siti Zubaidah lagi "Itulah amalan yang aku sering lakukan yang meyebabkan dosa-dosa aku diampunkan oleh Allah" Maka apabila malaikat hendak menyeksa aku, Allah berfirman : "Kamu di tahan dari menyeksanya. Jikalau tiada keimanan di dalam hatinya dia tidak akan menyebut KU ketika dia dalam keadaan mabuk."


Sumber : Kitab Lubab Hadis Karangan Imam Sayuti 

KISAH SUFI : WALI ALLAH DI GODA WANITA


Diceritakan bahawa terdapat seorang wali Allah yang begitu alim, abid dan sentiasa dahagakan ilmu Allah. Walau dia mendapat taraf wali tetapi kerana merasa kecetekan ilmu yang ada pada dirinya menyebabkan saban hari dia sentiasa berulang-alik ke masjid untuk menuntut ilmu agama dari ulama dan tuan guru.

Begitulah rutin harian wali Allah itu. Tarafnya yang tinggi di sisi Allah tetapi dia masih merasa kerdil pada yang Esa. Masih banyak ilmu yang belum dia ketahui. Begitulah kita, apabila semakin banyak yang kita belajar semakin ‘bodoh’ diri kita. Bodoh bukan kerana malas tetapi kerana terasa banyak lagi ilmu yang kita belum fahami dan diteladani. Kita mencari ilmu bukan kerana nama tapi kerana agama!. 

Hampir 80 tahun dia melakukan ibadat dengan penuh ketaatan kepada Allah s.w.t dan pada suatu hari Allah menguji suatu ujian kepada kekasihnya itu. Ujian yang hebat yang tidak pernah dirasainya sebelum ini. Ujian menguji keteguhan iman kepada yang Maha Esa.

Di dalam perjalanan ke masjid wali itu bertemu dengan seorang wanita. Wanita itu memanggilnya…

“Wahai abid, saya ingin meminta pertolongan dari kamu. Saya ingin mengangkat barang di rumah saya tetapi kudrat saya tidak mampu untuk mengangkat barang itu. Jadi, saya ingin meminta pertolongan kamu. Sudikah kamu menolong saya?” kata wanita itu.

“Erm..InsyaAllah”

Lalu wanita itu membawa wali Allah itu ke dalam rumahnya. Apabila sampai ke rumahnya. Wanita itu mempelawa Abid masuk dan pintu itu di tutup rapat dan dikuncinya. Wanita itu menyelitkan kunci rumahnya di dalam dadanya. Wali Allah itu terpinga-pinga.

“Sebenarnya tiada barang yang perlu diangkat. Kamu hanya perlu mengangkat saya. Marilah kita berzina. Hanya kita berdua di rumah ini.” Rayu wanita itu.

Wanita itu mula menanggalkan pakaiannya.

Wahai Abid, marilah berzina denganku. Di rumah ini hanya kita sahaja. Kau setubuhilah aku kemudian kau pulang ke rumahmu dan kau kembali ke rumah dan bertaubat. Allah kan Maha pengampun dan penerima taubat”. Godaan dan tipu daya dari syaitan.

Ujian dari yang Esa kepada seorang kekasihNYA . Wanita cantik di hadapan mata yang menggoda!

Wali Allah itu agak terkejut. Di dalam hatinya berdoa, “Ya Allah andai dikau menerima ibadahku selama 80 tahun ini, kau selamatkanlah aku dari dosa ini Ya Allah.”

Tiba-tiba ada suara ghaib menyapa. Suara ini di dengar oleh hati yang bersih sahaja bukan pada hati yang penuh noda.

“Wahai abid, andai dikau ingin selamat dari wanita ini pergilah dikau ke tandas rumahnya.” Bicara suara ghaib itu.

Dia yakin itu adalah bantuan dari Allah!

Wali Allah itu membuat helah. 

“Baiklah aku akan berzina denganmu tetapi, izinkan untukku pergi ke tandas untuk melepaskan hajatku.” Kata wali itu.

“Silakan.”

Hanya berserah pada Allah moga dia selamat dari fitnah ini. Wali itu memasuki tandas. Dalam keadaan resah dan mengigil ketakutan suara ghaib itu hadir lagi. Wali itu berdoa lagi, “Ya Allah andai dikau menerima ibadahku selama 80 tahun ini, kau selamatkanlah aku dari dosa ini Ya Allah.”

Tiba-tiba suara ghaib itu menyapa lagi…

“Wahai abid, jika kamu ingin selamat dari wanita itu, ambillah najis (tahi) yang ada di lubang tandas itu dan lumurkanlah ke seluruh badanmu dan kembalilah dikau kepada wanita itu.”

Wali itu dengan penuh ketaatan mengikut apa yang kehendaki oleh suara ghaib itu. Kemudian di keluar dari tandas dan terus berjumpa dengan wanita yang menunggunya tadi. 

“Ish, busuknya! lelaki apa kau ini? Aku mengajakmu untuk menyetubuhi aku tetapi mengapa kau lumurkan najis di seluruh badan mu?” Soal wanita itu sambil menutup hidungnya.

“Keluar kau dari sini!” Kata wanita itu lagi.

Allah telah menyelamatkan kekasihnya dan dia berjaya dengan ujian ini. Wali itu pergi berlalu mencari anak sungai yang terdekat untuk menyucikan dirinya kemudian dia terus ke masjid untuk meneruskan pengajiannya.

Dia datang agak lewat. Pada kebiasaannya wali itu akan duduk di hadapan sekali untuk mendengar pengajian dari Tuan Gurunya. Tetapi kali ini tempatnya sudah diambil orang. Dia duduk di barisan yang paling hujung. Sedang asyik tuan guru menyampaikan syarahannya kepada anak-anak muridnya. Tiba-tiba Tuan Guru itu memberhentikan syarahannya. Dia bagai menghidu sesuatu bau yang menarik perhatian hidungnya. Kemudian dia bertanya kepada semua anak muridnya.

“Sesiapa yang di antara kamu yang berbau?” Soalan ini diulang beberapa kali oleh Tuan Guru itu.

“Akulah insan yang berbau itu.” Bisik wali Allah itu di dalam hatinya. Dia tidak mampu untuk mengangkat tangan kerana fikirnya dia telah melumuri badannya dengan najis sebentar tadi dan abid itu hanya diam tidak terdaya untuk berbicara.”

“Baiklah, jika tiada siapa yang ingin mengaku akanku cium kamu seorang demi seorang.” Kata Tuan Guru itu.

Dia bingkas bangun dan mencium seorang demi seorang anak muridnya namun masih tiada dia jumpa sehinggalah sampai kepada wali Allah itu. Dia menghidu lalu bertanya. 

“Wahai Abid, di manakah kamu perolehi bau ini? Soalan itu ditanya berulang kali.

Akhirnya wali Allah itu menyatakan bahawa dia melumurkan najis dibadannya kemudian dia membersihkannya di sebatang anak sungai.

“ Ketahuilah olehmu wahai abid bau yang wangi ini merupakan bau wangian para nabi dan rasul di syurga. Kamu sudah memperolehnya wahai kekasih Allah. Kata Tuan Guru itu yang juga merupakan wali Allah. Sememangnya ada hubungan rasa di antara wali Allah.

“Wahai abid, mulai dari sekarang kaulah yang layak mengajar di tempat ini.” Ujar Tuan Guru itu.

Monday 16 June 2014

SIRAH NABI : IBUNDA PARA SYUHADA


Khansa terkenal dengan gelaran "Ibunda Para Syuhada". Ia dilahirkan pada zaman jahiliyah dan tumbuh besar di tengah suku bangsa Arab mulia, iaitu Bani Mudhar. Sehingga banyak sifat mulia yang terdapat dalam dirinya.

Ia adalah seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, pemberani, tegas, tak kenal pura-pura dan suka berterus terang. Selain keutamaan itu, ia pun pandai bersyair. Ia terkenal dengan syair-syairnya yang berisi kenangan kepada orang-orang tercinta yang telah tiada. Terutama kepada kedua orang saudara lelakinya, iaitu Muawiyah dan Sakhr yang telah meninggal dunia.

Khansa sering bersyair tentang kedua saudaranya itu sehingga ia ditegur oleh Umar bin Khathab. Umar pernah bertanya kepada Khansa, "Mengapa matamu bengkak-bengkak?"

"Kerana aku terlalu banyak menangisi pejuang-pejuang Mudhar yang terdahulu," jawab Khansa.

Umar berkata, "Wahai Khansa, mereka semua ahli neraka."

"Justeru itulah yang membuatku lebih kecewa dan sedih lagi. Dahulu aku menangisi Sakhr atas kehidupannya, sekarang aku menangisinya kerana ia ahli neraka."

Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As-Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak laki-laki. Melalui pembinaan dan pendidikan tangannya yang dingin, keempat anak lelakinya ini tumbuh menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Dan Khansa sendiri terkenal sebagai ibu para syuhada. Hal itu kerana dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur sebagai syahid di medan Perang Qadisiyah.

Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Khansa. Di antara keempat putranya saling berebut kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling menunjuk yang lain untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh-musuh Allah. Rupanya perdebatan mereka itu terdengar oleh Khansa. 

Maka Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata, "Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan seorang perempuan yang sama. Tidak elok bagiku untuk mengkhianati ayahmu, atau membuat malu bapa saudaramu, atau mencoreng arang di muka keluargamu." 

Khansa berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah. Majulah paling depan, nescaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat, negeri yang abadi. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Inilah kebenaran sejati, maka berperanglah dan bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut nescaya kalian dianugerahi hidup."

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak yang tewas di tangan mereka. Akhirnya mereka pun satu per satu gugur sebagai syahid. Ketika Khansa mendengar kematian dan kesyahidan putra-putranya, sedikit pun ia tak merasa sedih. 

Bahkan ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukanku dengan mereka dalam naungan rahmat-Nya yang luas."

Khansa wafat pada permulaan pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, pada tahun ke-24 Hijriyah.

SIRAH NABI : ORANG BUTA PERTAMA MENYERTAI PERANG


Dalam sejarah Islam, ia dikenali memiliki ilmu dan adab istimewa yang dikurniakan Allah kepadanya, menggantikan kebutaan matanya sebagai cahaya dalam pandangan dan pancaran di hati. Sehingga ia dapat melihat dengan mata hati, apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain. Hatinya dapat mengetahui apa yang tersembunyi.

Bila Rasulullah SAW pergi ke berbagai medan perang, dia selalu ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah, mengimami solat jamaah di mihrab beliau, dan berdiam di sebelah kiri mimbar dengan khusyuk.

Pada awal sejarah Islam, Abdullah bin Ummi Maktum memperolehi hidayah untuk bergabung bersama orang-orang yang telah memeluk Islam. Ketika itu ia masih muda belia, sehingga hatinya merasakan betul manisnya keimanan. Apabila dewasa, dia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan hatinya bersih, sehingga walaupun matanya tak mampu melihat, namun itu merupakan nikmat besar yang dikurniakan Allah kepadanya.

Ibnu Ummi Maktum mempunyai naluri yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang fajar, dengan perasaan jiwa yang segar ia keluar dari rumahnya, dengan bertopang tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang kaum Muslimin untuk mengumandangkan azan di masjid Rasul.

Dia selalu bergantian azan dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua azan, maka yang lainnya bertindak mengumandangkan iqamat. Namun Bilal mengumandangkan azan semalam untuk membangunkan kaum Muslimin, sedangkan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkannya waktu Subuh.

Oleh sebab itulah, Rasulullah bersabda terkait waktu sahur pada bulan Ramadhan, "Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan…"

Allah telah memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Ketika Nabi sedang duduk bersama dengan para pemuka Quraisy, diantara mereka terdapat Uqbah bin Rabi'ah. Beliau bersabda, "Tidakkah baik sekiranya kamu datang dengan begini dan begini?"

Kata mereka, "Benar!"

Tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum datang menanyakan tentang sesuatu kepada beliau, namun beliau mengelak kerana sibuk berbicara dengan para tokoh Quraisy itu. Allah pun menurunkan ayat yang berbunyi: "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, kerana telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya." (QS Abasa: 1-11).

Sewaktu ayat ini turun, Rasulullah kemudian memanggil Ibnu Ummi Maktum dan memberinya suatu kehormatan dengan menunjuknya sebagai wakil beliau di Madinah pada saat beliau menghadapi peperangan untuk yang pertama kalinya.

Suatu ketika Abdullah bin Ummi Maktum menyampaikan keinginannya untuk dapat ikut berjihad kepada para sahabat. Tentu saja para sahabat merasa sangat senang kerana keutamaan yang dimiliki Ibnu Ummi Maktum. Walau matanya buta, telah lama ia mengharapkan dapat ikut berperang bersama Rasulullah dan pasukan Muslimin.

Abdullah bin Ummi Maktum merasa sangat sedih dan pilu tatkala ayat turun wahyu kepada Rasulullah yang berbunyi, "Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)."

Ia pun berkata, "Ya Allah, Kau memberiku ujian begini, bagaimana aku dapat berbuat…?" Kemudian turunlah ayat lainnya, "Selain yang mempunyai uzur…"

Kemuliaan seperti apakah gerangan yang lebih tinggi dari penghormatan ini, di mana wahyu diturunkan dua kali lantaran persoalan Ibnu Ummi Maktum; yang pertama merupakan teguran terhadap Rasulullah SAW, dan yang kedua ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan berhalangan, termasuk di antaranya adalah Abdullah bin Ummi Maktum.

Walau demikian, Ibnu Ummi Maktum tetap mempunyai hasrat yang kuat untuk berjihad fi sabilillah bersama barisan kaum Muslimin. Dia telah mengutarakan hasratnya berulangkali. Dia berkata kepada para sahabat Rasulullah, "Serahkanlah panji kepadaku, kerana sesungguhnya aku adalah seorang buta sehingga tidak akan dapat melarikan diri. Tempatkanlah aku di antara kedua pasukan!"

Sang sahabat yang mulia dan agung ini tidak berakhir hayatnya sebelum Allah mengabulkan hasrat hatinya tersebut. Pada saat Perang Qadisiyah, ia turut berperang sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah seorang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.

Wednesday 11 June 2014

BAGAIMANA DENGAN ALLAH???


Dalam satu rombongan (kafilah) ada seorang lelaki telah terpikat kepada seorang perempuan. Setelah hari sudah jauh malam, dia mula menghampiri perempuan itu untuk menggodanya. 

Perempuan itu pun berkata, "Lihatlah adakah orang-orang itu telah tidur semuanya?" 

Gembiralah lelaki itu kerana menyangka harapannya akan dipenuhi. Setelah mengelilingi rombongan kafilah tersebut, didapatinya semua orang telah tidur. 

Dia pun berkata, "Betul, semua orang telah tidur," 
Perempuan itu bertanya, "Bagaimana pendapatmu mengenai Allah SWT. Tidurkah Ia di saat ini?" 
Lelaki itu tersentak, lalu menjawab," Sesungguhnya Allah SWT tidak pernah tidur dan tidak pernah mengantuk!" 
Perempuan itupun berkata, "Sesungguhnya Tuhan memang tidak tidur dan memang tidak pernah tidur. Dia akan melihat kita, walaupun manusia tidak melihat. Maka lebih tepat kalau kita takut akan Dia." 

Lelaki itu sedar dan terus meninggalkan niat jahatnya itu lantaran takut kepada Allah Yang Maha Melihat Lagi Maha Mengetahui. Dia bertaubat dan kembali ke rumahnya. 

Setelah dia mati ada orang bermimpi bertemu dengannya, lalu bertanya, "Bagaimana keadaanmu?" 

Lalu dijawab, " Allah telah mengampuni Aku sebab takutku kepada-Nya dan meninggalkan perbuatan dosa itu."

KASYAF SHEIKH ABDUL QADIR JAILANI


Ada sebuah kisah yang berlaku kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani. Dia didatangi oleh pembesar-pembesar kota Baghdad untuk diajak bersama dalam satu majlis ibadah malam secara beramai-ramai. Dia menolak undangan itu tetapi pembesar-pembesar tersebut berkeras juga mengajak beliau hadir. Untuk dapat berkat, kata mereka. Akhirnya, dengan hati yang berat, Syeikh Abdul Qadir bersetuju untuk hadir.Pada malam berkenaan, di satu tempat yang terbuka, beratus-ratus orang hadir dengan melakukan ibadah masing-masing. Ada yang bersolat, ada yang berwirid, ada yang membaca Quran, ada yang bermuzakarah, ada yang bertafakur dan sebagainya. Syeikh Abdul Qadir duduk di satu sudut dan hanya memerhatikan gelagat orang-orang yang beribadah itu.Di pertengahan malam, pihak penganjur menjemput Syeikh Abdul Qadir untuk memberi tazkirah. Dia cuba mengelak tetapi didesak berkali-kali oleh pihak penganjur. Untuk dapat berkat, kata mereka lagi. Akhirnya dengan hati yang sungguh berat, Syeikh Abdul Qadir bersetuju.Tazkirah Syeikh Abdul Qadir ringkas dan pendek sahaja. Dia berkata: Tuan-tuan dan para hadirin sekelian. Tuhan tuan-tuan semua berada di bawah tapak kaki saya. Dengan itu, majlis terkejut dan menjadi gempar dan riuh rendah. Para hadirin terasa terhina dan tidak puas hati. Bagaimanakah seorang Syeikh yang dihormati ramai dan terkenal dengan ilmu dan kewarakannya boleh berkata begitu terhadap Tuhan mereka. Ini sudah menghina Tuhan. Mereka tidak sanggup Tuhan mereka dihina sampai begitu rupa.Mereka sepakat hendak melaporkan perkara itu kepada pemerintah. Apabila pemerintah dapat tahu, diarahnya kadi untuk menyiasat dan mengadili Syeikh Abdul Qadir dan jika dia dapati bersalah, hendaklah dihukum pancung. Pada hari pengadilan yang dibuat di khalayak ramai, Syeikh Abdul Qadir dibawa untuk menjawab tuduhan. Kadi bertanya, Benarkah pada sekian tempat, tarikh dan masa sekian, Tuan Syeikh ada berkata di khalayak ramai bahawa tuhan mereka ada di bawah tapak kaki Tuan Syeikh? Dengan tenang Syeikh Abdul Qadir menjawab, Benar, saya ada kata begitu. Kadi bertanya lagi, Apakah sebab Tuan Syeikh berkata begitu?Jawab Syeikh Abdul Qadir , Kalau tuan kadi mahu tahu, silalah lihat tapak kaki saya.Maka kadi pun mengarahkan pegawainya mengangkat kaki Syeikh Abdul Qadir untuk dilihat tapak kakinya. Ternyata ada duit satu dinar yang melekat di tapak kakinya. Kadi tahu Syeikh Abdul Qadir seorang yang kasyaf. Fahamlah kadi bahawa Syeikh Abdul Qadir mahu mengajar bahawa semua orang yang beribadah pada malam yang berkenaan itu sebenarnya tidak beribadah kerana Tuhan. Tuhan tidak ada dalam ibadah mereka. Hakikatnya, mereka tetap bertuhankan dunia yang duit satu dinar itu menjadi lambang dan simbolnya.

HASAN BASRI BERJIRAN DENGAN NASRANI


Kekaguman para sahabat dan murid-muridnya tak menggetarkan pribadi Hasan al-Bashri untuk tetap hidup penuh kesederhanaan. Di rumah yang tidak terlalu besar dia tinggal bersama isteri tercinta. Di bahagian atas adalah tempat tinggal seorang Nasrani. Kehidupan berumah bertetangga mengalir tenang dan harmoni walaupun diliputi kekurangan menurut ukuran duniawi. Di dalam bilik Hasan al-Bashri selalu terlihat kesan kecil bocor air dari atap biliknya. Isterinya memang sengaja meletakkan bekas tadahan air atas permintaan Hasan al-Bashri agar tidak basah. Hasan al-Bashri selalu mengganti bekas tadahan itu setiap kali penuh dan sesekali mengelap sisa percikan yang sempat membasahi lantai. Hasan al-Bashri tak pernah berniat memperbaiki atap itu. “Kita tak boleh mengusik tetangga,” dalihnya. Jika dilihat atap bilik Hasan al-Bashri tak lain merupakan lantai bilik mandi seorang Nasrani, jirannya. Kerana ada kerosakkan, air kencing dan kotoran masuk ke dalam bilik Imam Hassan tanpa mengikuti saluran yang tersedia. Jiran Nasrani itu tidak mengetahui apa-apa tentang kejadian ini kerana Hasan al-Bashri sendiri belum pernah memberitahunya. Hingga suatu ketika si jurang menjenguk Hasan al-Bashri yang tengah sakit dan menyaksikan sendiri air najis bilik mandinya menimpa ruangan Hasan Al-Bashri.“Imam, sejak bila engkau bersabar dengan semua ini,” jiran Nasrani kelihatan menyesal. Hasan al-Bashri hanya terdiam memandang, sambil melempar senyum pendek. Merasa tak ada jawaban jiran Nasrani pun bertanya lagi. “Tolong katakan dengan jujur, wahai Imam. Ini demi melegakan hati kami.” Dengan suara berat Hasan al-Bashri pun berkata, “Dua puluh tahun yang lalu.”“Lantas mengapa engkau tidak memberitahuku?”“Memuliakan jiran adalah hal yang wajib. Nabi kami mengajarnya, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah jiran". Anda adalah jiran saya,” jawabnya. Mendengar jawaban Hasan al Bashri, jirannya Nasrani itu mengucapkan dua kalimat syahadat.