Thursday 18 May 2017

MENGAPA BANYAK ISTILAH-ISTILAH KHUSUS DALAM ILMU TASAWUF?


"Bagaimana kalian ini wahai para sufi", beberapa ulama syariat bertanya kepada Ibnu Atha', "kalian telah menciptakan istilah-istilah yang aneh bagi pendengar-pendengarnya tetapi memberi keputusan dengan berkata biasa saja? Hanya ada dua kemungkinan, yang pertama kalian hanya berlagak, kerana berlagak tidak berkaitan dengan kebenaran maka doktrin kalian jelas palsu. Yang kedua, doktrin tersebut seimbang, dan keseimbangan itu hendak kalian sembunyikan dari khalayak ramai?"

"Semua itu kami lakukan kerana doktrin itu sangat penting bagi kami", Ibnu Atha menjawab. "Yang kami praktikkan itu sangat penting bagi kami dan kami tidak menginginkan siapa pun juga, kecuali kami para sufi, yang mengetahuinya. Untuk maksud ini kami tidak mahu menggunakan bahasa yang dikenal semua orang dan oleh kerana itulah kami menciptakan istilah-istilah khusus".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar

KETENTUAN ALLAH


Ibnu Atha' mempunyai sepuluh orang putera, semuanya gagah dan tampan. Ketika mereka menyertai Ibnu Atha' dalam suatu perjalanan, perompak menghadang mereka. Kemudian para perompak itu hendak memenggal kepala mereka satu persatu. Ibnu Atha' tidak berkata apa-apa, dan setiap kali salah seorang dari puteranya itu dipenggal kepalanya, ia menengadahkan kepala ke atas langit dan tertawa. Sembilan orang telah terbunuh. Para penyamun hendak menghabiskan anaknya yang kesepuluh.

"Sungguh seorang ayah yang baik hati", puteranya yang kesepuluh itu berseru kepadanya. "Sembilan orang puteramu telah dipenggal dan engkau tidak berkata apa-apa, malahan tertawa-tawa".

"Wahai buah hati ayah!", Ibnu Atha' menjawab, "Dialah yang melakukan hal ini, apakah yang dapat kita katakan kepadaNya? Dia Maha Tahu dan Maha Melihat. Sesungguhnya Dia bisa, jika Dia memang menghendaki menyelamatkan anak-anakku semuanya".

Mendengar ucapan Ibnu Atha' ini, penyamun yang hendak membunuh puteranya yang kesepuluh itu tergugah hatinya dan berseru: "Orang tua, seandainya tadi kata-kata itu engkau ucapkan, nescaya tidak seorang pun di antara anak-anakmu yang akan terbunuh".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar

MURID KESAYANGAN SYEIKH IBNU KHAFIF


Ada dua orang murid Syeikh Ibnu Khafif, yang seorang bernama Ahmad Tua dan yang seorang lagi Ahmad Muda. Di antara kedua muridnya ini, Ibnu Khafif lebih menyayangi Ahmad Muda. Murid-murid lain tidak setuju terhadap sikap Ibnu Khafif ini. Mereka berdalih: Bukankah Ahmad Tua telah menjalankan lebih banyak perintah dan disiplin diri?

Setelah mengetahui perihal ini, Ibnu Khafif ingin membuktikan kepada mereka, bahwa Ahmad Muda lebih unggul dari Ahmad Tua. Pada saat itu ada seekor unta yang sedang tidur di depan pintu.

"Ahmad Tua", Ibnu Khafif memanggil. "Saya!", sahut Ahmad Tua.

"Angkatlah unta itu ke atas loteng" perintah Ibnu Khafif. "Guru", kata Ahmad Tua, "mana mungkin aku dapat meng-angkat unta itu ke atas loteng".

"Cukup", jawab Ibnu Khafif. Kemudian ia memanggil Ahmad Muda.

"Ahmad Muda", panggilnya. "Saya", Ahmad Muda menyahut. "Angkatlah unta itu ke atas loteng".

Ahmad Muda segera mengencangkan ikat pinggangnya, menggulung lengan bajunya, dan berlari-lari keluar. Ahmad Muda menaruh kedua tangannya ke bawah tubuh binatang itu dan dengan sekuat tenaga mengangkatnya, namun sia-sia.

"Cukup, baik sekali!", Ibnu Khafif berseru. Kemudian berkatalah ia kepada murid-muridnya, "Sekarang tahulah kalian bahwa Ahmad Mudalah yang telah melakukan kewajibannya. Ia mentaati perintah tanpa membantah. Yang dipentingkannya adalah perintahku dan tidak perduli apakah perintah itu dapat dilaksanakannya atau tidak. Sebaliknya dengan Ahmad Tua, ia hanya ingin berdalih dan membantah. Dari sikap yang terlihat kita dapat memahami keinginan di dalam hati seseorang".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

BURUK SANGKA


Dari negeri yang jauh, datang dua orang sufi untuk berkunjung kepada Ibnu Khafif. Kerana tidak menemukan syeikh di tempatnya, maka bertanya-tanyalah mereka, di manakah kiranya Ibnu Khafif berada pada saat itu.

"Di istana Azud ad-Daula", seseorang memberikan keterangan.

"Apakah urusan syeikh Ibnu Khafif di istana?", kedua sufi itu bertanya-tanya. "Selama ini kita mengira bahwa ia adalah orang yang mulia!". Kemudian mereka berkata, "lebih baik kita melihat-lihat kota ini".

Maka pergilah mereka ke pasar. Kemudian mereka menuju ke tempat tukang jahit untuk menampalkan jubah mereka yang robek di sebelah depannya. Tetapi ketika itu si penjahit lagi kehilangan guntingnya.

"Kalian mencuri gunting," orang ramai menuduh mereka berdua dan menyerahkan mereka kepada penguasa. Kedua sufi itu diheret ke istana. "potonglah tangan mereka", Azud ad-Daula memberikan perintah.

"Tunggu!", Ibnu Khafif yang ketika itu berada di istana berseru. "Mereka ini bukan pencuri".

Maka kedua sufi itu pun dibebaskan. Kemudian Ibnu Khafif berkata kepada mereka,"Persangkaan buruk kalian terhadap diriku memang wajar. Tetapi urusanku yang sebenarnya di istana adalah untuk tujuan-tujuan seperti membebaskan tadi"

Sejak itu keduanya menjadi murid Ibnu Khafif.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

DEBAT NABI MUSA A.S DAN NABI ADAM A.S


Musa berkata, ’Kamu adalah Adam yang diciptakan oleh Allah dengan kuasaNya. Dia meniupkan rohNya padamu, Dia memerintahkan Malaikat sujud kepadamu, dan Dia mengizinkanmu tinggal di SurgaNya. Kemudian gara-gara kesalahanmu, kamu menjadikan manusia diturunkan ke bumi.’

Adam menjawab, Kamu adalah Musa yang dipilih oleh Allah dengan risalah dan KalamNya. Dia memberimu Lauh [kepingan kayu atau batu] yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu. Dia telah mendekatkanmu kepadaNya sewaktu kamu bermunajat kepadaNya. Berapa lama kamu mendapatkan Allah telah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?’

Musa menjawab, ’Empat puluh tahun.’

Adam bertanya, ’Apakah di sana tertulis, 'Dan derhakalah Adam kepada Allah dan sesatlah dia.’ (QS. Thaha: 121)?’

Musa menjawab, ’Ya.’

Adam berkata, ’Apakah kamu menyalahkanku hanya kerana aku melakukan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?. Namun Allah telah mengampuni aku atas dosa tersebut dan barang siapa yang telah diampuni maka bererti ia sudah tidak menanggung dosa dan barang siapa yang sudah tidak menanggung dosa maka ia tidak boleh dicela dan dipersalahkan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Adam mengalahkan hujah Musa."

Riwayat di atas adalah berdasarkan hadits riwayat imam Muslim.

Sumber : Kitab Tafsir Munir Karangan Syeikh Wahbah Zuhaili.

Saturday 15 April 2017

IBRAHIM AL KHAWWAS DAN RAHIB


Aku telah bersumpah akan mengembara di padang pasir tanpa perbekalan, makanan, dan binatang tunggangan. Begitu aku memasuki padang pasir, seorang pemuda mengejarku dan mengucapkan salam.

"Assalamu alaikum, syeikh", katanya.

Aku berhenti dan aku jawab salamnya. Kemudian tahulah aku bahwa dia beragama Kristian.

"Bolehkah aku berjalan bersamamu?". si pemuda bertanya. 'Tempat yang kutuju terlarang untukmu, maka apakah faedah-nya bagimu untuk berjalan bersamaku", jawabku.

'Tidak mengapa" jawabnya. "Mungkin sekali dengan berjalan bersamamu akan membawa keberkatan"..

Setelah seminggu berjalan, pada hari yang ke delapan si pemuda berkata kepadaku.

"Wahai pertapa budiman dari kaum Hanafiah, beranikah dirimu untuk meminta sekadar makanan dari Tuhanmu kerana aku merasa lapar".

"Ya Tuhanku", aku berdoa, 'demi Muhammad saw, janganlah Engkau membuatku malu di depan orang asing ini tetapi turunkanlah sesuatu dengan kegaiban".

Sesaat itu juga terlihatlah olehku sebuah nampan yang penuh dengan roti, ikan panggang, kurma dan sekendi air. Maka duduklah kami untuk menyantap hidangan itu.

Kemudian kami meneruskan perjalanan hingga genap satu minggu pula. Pada hari yang lapan aku berkata kepada teman seperjalananku itu.

"Wahai Rahib, tunjukkanlah kebolehanmu kerana aku telah merasa lapar".

Sambil bersandar pada tongkatnya, si pemuda berdoa dengan bibir komat-kamit. Sesaat itu juga terciptalah dua buah meja yang masing-masing penuh dengan halwa, ikan, kurma dan cekendi air. Aku terheran-heran.
"Makanlah wahai pertapa!", si pemuda Kristian berkata kepadaku.

Aku sangat malu menyantap hidangan itu.

"Makanlah", si pemuda mendesak, "sesudah itu akan aku sampaikan kepadamu beberapa buah kabar gembira"
"Aku tidak mau makan sebelum engkau menyampaikan kabar gembira itu", jawabku.

"Yang pertama adalah bahwa aku akan melepaskan sabukku ini" katanya.

Setelah berkata demikian dilepaskannya sabuk yang sedang dikenakannya. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya
"Aku bersaksi, tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Kabar gembira yang kedua adalah sesungguhnya doaku tadi adalah 'Ya Allah, demi orang tua yang mulia di pandangan-Mu ini, orang tua penganut agama yang benar ini, berilah aku makanan agar aku tidak mendapat malu di hadapannya". Sesungguhnya hai ini terjadi kerana berkatmu juga".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

KARAMAH MAISARAH IBNU MASRUQ AL ABBASI R.A


Maisarah adalah salah satu di antara sembilan utusan Bani Absi yang datang kepada Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw menunaikan haji wada’, Maisarah berjumpa dengan beliau, lalu la bertanya, “Wahai Rasulullah, aku sangat ingin menjadi pengikutmu.” Kemudian ia masuk Islam dan keislamannya sangat baik. Maisarah berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari neraka kerana adanya engkau (Muhammad).” Maisarah diberi jawatan bagus oleh Abu Bakar. (Diriwayatkan oleh Ibnu Atsir dalam Usud al-Ghabah)

Maisarah bin Masruq al-‘Absi r.a. termasuk salah satu pemimpin tentara di Palestina dan ia meninggal di sana serta dimakamkan dekat daerah Baqah termasuk wilayah Nablus. Makamnya terkenal sebagai tempat ziarah.

Yusuf al-Nabhani bercerita, “Aku menziarahi makam Maisarah bin Masruq al-Absi r.a. kira-kira dua puluh tahun yang lalu. Aku belum mengetahui lokasi makamnya, tetapi ketika aku melalui sebuah jalan di samping makamnya, aku melihat orang-orang berbondong-bondong menziarahinya. Pada waktu itu adalah hari Arafah tahun 1305 H. Kemudian aku bertanya kepada seorang penduduk daerah itu yang ada di sisiku. Penduduk itu memberitahuku bahwa hari Arafah adalah hari yang khusus untuk menziarahi makam Maisarah, kerananya banyak penduduk daerah- daerah sekitar yang datang berziarah saat itu. Sebuah tradisi lama yang berlangsung terus setiap tahun tanpa terputus. Mereka juga melakukan ziarah di hari terakhir bulan Ramadhan.

Pada tahun itu juga, aku pergi ke Beirut untuk tugas pemerintahan negara yang mengharuskanku sampai sekarang menetap di sana. Kurang lebih tiga tahun setelah tinggal di Beirut, yakni 1308 H., aku jatuh sakit yang disahkan oleh semua dokter sebagai penyakit kuat lemahnya syaraf pencernaan. Penyakit itu sangat memayahkanku. Ketika aku telah putus asa untuk sembuh, dalam mimpi aku mendengar ada orang menyuruhku menziarahi makam Maisarah. Aku tahu yang dimaksud adalah Maisarah al-Absi, dan dengan menziarahnya aku akan memperoleh ubat penyakitku ini. Ketika terbangun, aku berniat kuat untuk menziarahinya. Setelah melalui makamnya tiga tahun lalu, aku sudah melupakan keberadaan Maisarah r.a. sebelum mimpi itu muncul. Oleh kerana itu, aku yakin mimpi itu benar.

Aku memantapkan diri untuk menziarahinya pada hari Arafah 1308 H. Aku memutuskan untuk bermalam di daerah yang dekat dengan makamnya yang bernama Wadi ‘Arah, di rumah ‘Abdul Karim Affandi bin Muhammad Husain Abdul Hadi. Ia sangat menghormatiku sebagai tamunya dan menjamuku dengan sangat baik.

Malamnya, aku merasa sehat kembali lebih dari sebelumnya, padahal selama berbulan-bulan aku minum berbagai macam ubat dan mengikuti saran beberapa dokter terkenal. Pagi harinya, aku berangkat untuk berziarah. Aku sampai ke makamnya di siang hari ketika banyak orang berziarah ke sana. Di makamnya, aku membaca surah-surah pendek dan kitab Dalail al-Khairat. Kemudian aku pulang dengan penuh rasa syukur dan pujian kepada Allah. Secara perlahan-lahan aku sehat kembali, hingga hilanglah penyakitku itu secara total. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

Sumber : Kitab Jami Al Karamat Al Auliya Karangan Syeikh Yusof Al Nabhani

MUSUH ALLAH


Pada suatu ketika secara bersamaan Junaid dan Syibli jatuh sakit. Seorang tabib yang beragama Kristian mengunjungi Syibli.

"Apakah keluhannmu?'. si tabib bertanya:

'Tidak ada", jawab Syibli.

"Apa?", jawab si tabib.

"Aku tidak merasa sakit", jawab Syibli.

Kemudian si tabib mengunjungi Junaid.

"Apakah keluhanmu? ia bertanya kepada Junaid.

Junaid mengatakan setiap hal yang dirasakannya dengan sejelas-jelasnya. Tabib Kristian itu memberikan ubat, kemudian pergi. Di belakang hari Junaid dan Syibli bertemu.

"Mengapakah engkau sudi menerangkan semua keluhanmu kepada seorang Kristian?", Syibli bertanya kepada Junaid.

"Agar si tabib Kristian itu menyedari, jika sahabatNya sendiri diperlakukanNya seperti itu, apakah yang akan dilakukanNya terhadap musuhNya nanti", jawab Junaid. Kemudian ia balik bertanya kepada Syibli:

"Dan mengapakah engkau tidak mahu mengatakan keluhan-keluhanmu kepadanya?"

"Aku merasa malu untuk menyampaikan keluh kesahku kepada musuh Sahabatku!", jawab Syibli.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

KISAH SEDEKAH KEPADA PELACUR, ORANG KAYA DAN PENCURI


 Dari Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menceritakan tentang seorang lelaki (dari Bani Israil). Lelaki itu berkata (dalam hatinya), “Sungguh saya akan memberi satu sedekah (pada malam ini), maka ia keluar membawa harta sedekahnya, lalu (dengan diam-diam) ia letakkan sedekahnya itu di tangan seorang pencuri  (tanpa ia ketahui bahwa orang itu pencuri). Pagi harinya orang-orang ramai membicarakan bahwa  seorang pencuri telah diberi sedekah (tadi malam). Maka lelaki itu berkata, “Allahumma lakal hamdu (Ya Allah! Bagi-Mu segala puji. Sedekahku telah jatuh ke tangan seorang pencuri).”

(Pada malam kedua ia berniat lagi) katanya, “Aku akan memberi sedekah lagi.” Maka ia pun keluar membawa sedekahnya, lalu (dengan diam-diam) ia meletakkannya di tangan seorang wanita pelacur (tanpa ia ketahui bahwa wanita itu pelacur). Pagi harinya orang-orang pun  ramai membicarakan bahwa seorang pelacur telah diberi sedekah (tadi malam). Maka lelaki itu berkata, “Allahumma lakal hamdu (Ya Allah! Bagi-Mu segala puji. Sedekahku telah jatuh ke tangan seorang pelacur).”

(Pada malam ketiga ia pun berniat lagi) katanya, “Aku akan memberi satu sedekah.” Maka ia keluar membawa sedekahnya, lalu (dengan diam-diam) ia meletakkannya di tangan orang kaya (tanpa diketahuinya bahwa ia orang kaya). Pagi harinya orang-orang ramai membicarakan bahwa orang kaya telah di diberi sedekah (tadi malam). Maka lelaki itu berkata “Allahumma lakal hamdu (Sedekahku telah jatuh ke tangan) seorang pencuri,pezina dan orang kaya).”

Kemudian ia dimimpikan oleh seseorang bahwasanya dikatakan padanya, ‘(Sedekahmu telah diterima). Adapun sedekahmu pada seorang pencuri, maka kerananya ia telah berhenti dari perbuatan mencurinya; adapun sedekahmu pada seorang pelacur, maka kerananya ia telah berhenti dari perbuatan lacurnya; dan adapun sedekahmu pada orang kaya, maka kerananya ia telah mendapat pelajaran sehingga ia pun mulai menginfakkan harta yang telah dikurniakan Allah kepadanya (di jalan Allah)’.” (HR. Bukhari dan muslim).

Sumber : Kitab Tafsir Munir Karangan Syeikh Wahbah Az Zuhaili.

ABU UTSMAN AL HIRI DAN HAMBA PEREMPUAN


Seorang saudaragar telah membeli seorang hamba perempuan seharga seribu dinar di Nishapur. Ia berhutang kepada seorang di kota lain. Si saudagar hendak pergi ke sana dengan segera untuk menagih hutangnya itu. Tetapi di kota Nishapur tak seorang pun yang dapat dipercayainya untuk menjaga hamba perempuannya itu. Oleh kerana itu pergilah ia menemui Abu' 'Utsman al-Hiri dan menjelaskan masalah yang dihadapinya itu. Mula-mula Abu 'Utsman menolak untuk menjaga hamba perempuan itu, tetapi si saudagar tetap meminta pertolongannya:

"Izinkanlah dia tinggal di dalam haremmu. Aku akan kembali dalam waktu secepatnya".

Akhirnya Abu 'Utsman menyerah dan si saudagar meninggalkan tempat itu. Tanpa disengaja terpandanglah gadis itu oleh Abu 'Utsman dan ia pun tergila-gila kepadanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya pergilah ia ke rumah gurunya Abu Hafshin bin Haddad, untuk meminta nasehat. Abu Hafshin bin Haddad menasihatkan:

"Pergilah ke Rayy dan mintalah nasihat kepada Yusuf bin al-Husain".

Maka berangkatlah Abu 'Utsman ke negeri Iraq. Ketika sampai di kota Rayy, ditanyakannya tempat tinggal Abu Yusuf bin al-Husain. Tetapi orang-orang mencegahnya ke sana.

"Apakah urusanmu dengan manusia bid'ah yang terkutuk itu? Engkau tampaknya sebagai seorang yang saleh, bergaul dengannya berarti menjerumuskan dirimu sendiri".

Sedemikian banyak keburukan-keburukan Yusuf yang diperkatakan orang sehingga Abu 'Utsman menyesal, mengapa ia sampai datang ke kota Rayy itu. Akhirnya ia pun kembali ke Nishapur.

"Apakah engkau telah bertemu dengan Yusuf bin al-Husain?" satu pertanyaan Abu Hafshin menyambut kedatangannya di Nishapur.

"Tidak", jawab Abu 'Utsman.

"Mengapa tidak?" tanya Abu Hafshin.

"Aku dengar segala tingkah laku Yusuf", kemudian lalu dikisahkannya segala sesuatu yang disampaikan penduduk Rayy kepadanya. "Oleh kerana itulah aku tidak pergi menemuinya dan kembali ke Nishapur".

"Kembalilah ke Rayy, dan temuilah Yusuf", Abu Hafshin mendesak 'Utsman.

Abu "Utsman pergi lagi ke Rayy dan sekali lagi bertanya-tanya, di manakah tempat tinggal Yusuf. Dan penduduk kota Rayy seratus kali lebih banyak memburuk-burukkan Yusuf daripada sebelumnya.

"Aku mempunyai suatu urusan penting dengan Yusuf", Abu 'Utsman menjelaskan kepada mereka.

Akhirnya mereka mahu juga menunjukkan kediaman Yusuf. Sesampainya di tempat Yusuf, dilihatnya seorang tua yang sedang duduk. Dan seorang remaja tampan yang tidak berjanggut berada di depannya. Si pemuda sedang menyajikan sebuah cembung dan cangkir. Wajahnya berseri-seri. Abu 'Utsman masuk, mengucapkan salam dan duduk. Syeikh Yusuf memulai pembicaraan, mengucapkan ajaran-ajaran yang sedemikian mulia dan luhur, membuat Abu 'Utsman terheran-heran. Akhirnya berkatalah Abu 'Utsman:

"Demi Allah, dengan kata-kata dan pemikiran-pemikiran seperti ini, apakah yang telah terjadi atas dirimu? Benjana arak dan seorang remaja yang belum berjanggut?"

"Remaja yang tidak berjanggut ini adalah puteraku, dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa ia adalah puteraku", jawab Yusuf. "Aku sedang mengajarkan al-Qur'an kepadanya. Bejana arak ini, kebetulan aku temukan di tempat sampah. Bejana ini aku ambil, aku cuci dan aku isi air, sehingga aku dapat memberikan air kepada orang-orang yang ingin minum kerana selama ini aku tidak punya sebuah tempayan pun".

Abu 'Utsman bertanya pula, "Demi Allah, mengapakah engkau bertingkah laku seperti ini sehingga orang-orang mengatakan hal-hal yang bukan-bukan mengenai dirimu?"

"Aku bertingkah laku seperti ini agar tidak ada orang yang sudi menitipkan hamba perempuannya yang berbangsa Turki kepadaku".

Mendengar jawaban ini, Abu 'Utsman merebahkan dirinya di kaki sang syeikh. Sedarlah ia bahwa Yusuf sebenarnya telah mencapai tingkat kesalehan yang tinggi. 

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariduddin Al Attar

Thursday 9 March 2017

BURUK SANGKA


Dari negeri yang jauh, datang dua orang sufi untuk berkunjung kepada Ibnu Khafif. Kerana tidak menemukan syeikh di tempatnya, maka bertanya-tanyalah mereka, di manakah kiranya Ibnu Khafif berada pada saat itu.

"Di istana Azud ad-Daula", seseorang memberikan keterangan.

"Apakah urusan syeikh Ibnu Khafif di istana?", kedua sufi itu bertanya-tanya. "Selama ini kita mengira bahwa ia adalah orang yang mulia!". Kemudian mereka berkata, "lebih baik kita melihat-lihat kota ini".

Maka pergilah mereka ke pasar. Kemudian mereka menuju ke tempat tukang jahit untuk menampalkan jubah mereka yang robek di sebelah depannya. Tetapi ketika itu si penjahit lagi kehilangan guntingnya.

"Kalian mencuri gunting," orang ramai menuduh mereka berdua dan menyerahkan mereka kepada penguasa. Kedua sufi itu diheret ke istana. "potonglah tangan mereka", Azud ad-Daula memberikan perintah.

"Tunggu!", Ibnu Khafif yang ketika itu berada di istana berseru. "Mereka ini bukan pencuri".

Maka kedua sufi itu pun dibebaskan. Kemudian Ibnu Khafif berkata kepada mereka,"Persangkaan buruk kalian terhadap diriku memang wajar. Tetapi urusanku yang sebenarnya di istana adalah untuk tujuan-tujuan seperti membebaskan tadi"

Sejak itu keduanya menjadi murid Ibnu Khafif.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

ABU UTSMAN AL HIRI DAN HAMBA PEREMPUAN


Seorang saudaragar telah membeli seorang hamba perempuan seharga seribu dinar di Nishapur. Ia berhutang kepada seorang di kota lain. Si saudagar hendak pergi ke sana dengan segera untuk menagih hutangnya itu. Tetapi di kota Nishapur tak seorang pun yang dapat dipercayainya untuk menjaga hamba perempuannya itu. Oleh kerana itu pergilah ia menemui Abu' 'Utsman al-Hiri dan menjelaskan masalah yang dihadapinya itu. Mula-mula Abu 'Utsman menolak untuk menjaga hamba perempuan itu, tetapi si saudagar tetap meminta pertolongannya:

"Izinkanlah dia tinggal di dalam haremmu. Aku akan kembali dalam waktu secepatnya".

Akhirnya Abu 'Utsman menyerah dan si saudagar meninggalkan tempat itu. Tanpa disengaja terpandanglah gadis itu oleh Abu 'Utsman dan ia pun tergila-gila kepadanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya pergilah ia ke rumah gurunya Abu Hafshin bin Haddad, untuk meminta nasehat. Abu Hafshin bin Haddad menasihatkan:

"Pergilah ke Rayy dan mintalah nasihat kepada Yusuf bin al-Husain".

Maka berangkatlah Abu 'Utsman ke negeri Iraq. Ketika sampai di kota Rayy, ditanyakannya tempat tinggal Abu Yusuf bin al-Husain. Tetapi orang-orang mencegahnya ke sana.

"Apakah urusanmu dengan manusia bid'ah yang terkutuk itu? Engkau tampaknya sebagai seorang yang saleh, bergaul dengannya berarti menjerumuskan dirimu sendiri".

Sedemikian banyak keburukan-keburukan Yusuf yang diperkatakan orang sehingga Abu 'Utsman menyesal, mengapa ia sampai datang ke kota Rayy itu. Akhirnya ia pun kembali ke Nishapur.

"Apakah engkau telah bertemu dengan Yusuf bin al-Husain?" satu pertanyaan Abu Hafshin menyambut kedatangannya di Nishapur.

"Tidak", jawab Abu 'Utsman.

"Mengapa tidak?" tanya Abu Hafshin.

"Aku dengar segala tingkah laku Yusuf", kemudian lalu dikisahkannya segala sesuatu yang disampaikan penduduk Rayy kepadanya. "Oleh kerana itulah aku tidak pergi menemuinya dan kembali ke Nishapur".

"Kembalilah ke Rayy, dan temuilah Yusuf", Abu Hafshin mendesak 'Utsman.

Abu "Utsman pergi lagi ke Rayy dan sekali lagi bertanya-tanya, di manakah tempat tinggal Yusuf. Dan penduduk kota Rayy seratus kali lebih banyak memburuk-burukkan Yusuf daripada sebelumnya.

"Aku mempunyai suatu urusan penting dengan Yusuf", Abu 'Utsman menjelaskan kepada mereka.

Akhirnya mereka mahu juga menunjukkan kediaman Yusuf. Sesampainya di tempat Yusuf, dilihatnya seorang tua yang sedang duduk. Dan seorang remaja tampan yang tidak berjanggut berada di depannya. Si pemuda sedang menyajikan sebuah cembung dan cangkir. Wajahnya berseri-seri. Abu 'Utsman masuk, mengucapkan salam dan duduk. Syeikh Yusuf memulai pembicaraan, mengucapkan ajaran-ajaran yang sedemikian mulia dan luhur, membuat Abu 'Utsman terheran-heran. Akhirnya berkatalah Abu 'Utsman:

"Demi Allah, dengan kata-kata dan pemikiran-pemikiran seperti ini, apakah yang telah terjadi atas dirimu? Benjana arak dan seorang remaja yang belum berjanggut?"

"Remaja yang tidak berjanggut ini adalah puteraku, dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa ia adalah puteraku", jawab Yusuf. "Aku sedang mengajarkan al-Qur'an kepadanya. Bejana arak ini, kebetulan aku temukan di tempat sampah. Bejana ini aku ambil, aku cuci dan aku isi air, sehingga aku dapat memberikan air kepada orang-orang yang ingin minum kerana selama ini aku tidak punya sebuah tempayan pun".

Abu 'Utsman bertanya pula, "Demi Allah, mengapakah engkau bertingkah laku seperti ini sehingga orang-orang mengatakan hal-hal yang bukan-bukan mengenai dirimu?"

"Aku bertingkah laku seperti ini agar tidak ada orang yang sudi menitipkan hamba perempuannya yang berbangsa Turki kepadaku".

Mendengar jawaban ini, Abu 'Utsman merebahkan dirinya di kaki sang syeikh. Sedarlah ia bahwa Yusuf sebenarnya telah mencapai tingkat kesalehan yang tinggi. 

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariduddin Al Attar

MAKBULNYA DOA BARAKH


Nabi Musa Kalimullah as disuruh meminta kepada Barakh untuk melakukan solat istisqa’ (solat minta hujan) untuk kaum Bani Israil, sesudah mereka tertimpa kemarau selama 7 tahun.

Nabi Musa as keluar untuk mengerjakan solat istisqa’ untuk mereka, dengan berjumlah 70 ribu orang. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as, “Bagaimana Aku mengabulkan doa mereka, dimana mereka telah digelapkan oleh dosa-dosanya, hati mereka itu keji. Mereka berdoa kepadaku dengan tidak yakin dan merasa aman dari siksaanKu. Pergilah pada salah seorang dari hambaKu yang bernama Barakh. Maka katakanlah kepadanya supaya ia keluar untuk melaksanakan solat istisqa’, sehingga Aku mengabulkan doanya.

Maka Nabi pun bertanya-tanya tentang Barakh, mereka tiada satu pun yang mengenal.

Hingga pada suatu hari Nabi Musa berjalan-jalan di suatu jalan, tiba-tiba seorang hamba hitam telah berada di hadapannya. Dan antara dua mata hamba itu berdebu dari bekas sujud dan di lehernya diikat dengan kain selimut. Maka Nabi Musa as mengetahuinya dengan nur Allah Azza wa Jalla.

Maka Nabi Musa memberi salam kepadanya dan bertanya, “Siapakah namamu?”

Hamba hitam itu menjawab, “Barakh!”

Nabi Musa berkata, “Jadi kamu ini, yang kami cari-cari semenjak beberapa waktu. Bangunlah dan bersolat istisqa’ bersama-sama kami.”

Maka hamba hitam itu bangun. Dan ia mengucapkan di dalam doanya, “Bukankah semua ini dari perbuatan Mu? Bukankah semua ini dari kesantunan Mu? Kiranya apakah yang tampak bagi Mu? Adakah kurang untukMu akan mata air Mu? Ataukah angin yang melawan kepada perintah Mu? Atau telah habis apa yang ada pada Mu? Ataukah kerana kerasnya kemarahan Mu atas orang-orang yang berdosa? Bukankah Engkau Maha Pengampun sebelum Engkau menciptakan orang-orang yang berbuat kesalahan? Telah Engkau ciptakan rahmat dan Engkau telah menyuruh dengan kasih sayang. Ataukah Engkau perlihatkan kepada kami bahwasanya Engkau enggan. Ataukah Engkau khawatir akan luput waktu dimana akan Engkau segerakan siksaan?”

Yang meriwayatkan terus berkata, “Maka senantiasa Barakh pada tempatnya. Sehingga basahlah kaum Bani Israil dengan tetes-tetes hujan. Dan Allah Ta’ala menumbuhkan rumput dalam setengah hari, sehingga datanglah orang-orang penggembala unta.”

Maka kembalilah Barakh, lalu ia dijemput oleh Musa as.

Barakh bertanya, “Bagaimana kamu melihat, ketika saya mengadu kepada Tuhanku? Bagaimana Dia menginsafkan aku?”

Lalu Nabi Musa minta pengertian daripadanya, maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya, “Bahwa doa Barakh membuat Aku tersenyum .”

Sumber : Kitab Ihya Ulumuddin Karangan Imam Ghazali.

TAWAKAL KEPADA ALLAH


Pada suatu ketika Syeikh Ibrahim Al Khawwas tersesat di padang pasir. Untuk beberapa lama dia berjalan ke satu arah yang tetap tetapi dia tidak menemukan jalan. Berhari-hari lamanya dia kehilangan arah seperti itu sehingga pada akhirnya dia mendengar gonggongan anjing. Aku kegirangan dan berjalan ke arah datangnya suara gonggongan tersebut. Namun tiba-tiba seekor kadal menyambarku. Lalu aku berkata di dalam hatiku, "Inilah akibat bagi orang yang menyerahkan diri kepada makhluk". Kemudian ada yang mengatakan didalam jiwaku, "Wahai ibrahim, selama kau dalam penjagaan dan janjiku maka kau pasti agung. Tetapi ketika kau masuk ke dalam penjagaan anjing maka engkau dikuasai makhluk". Maka aku pun bertaubat kepada Allah. Tiba-tiba binatang yang menyambarku tadi jatuh dari tebing dan kepala terputus.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

KEHENDAK ALLAH


Suatu hari ketika Ibrahim Khawas melintasi daerah Syria terlihatlah olehnya pohon-pohon delima. Ibrahim Khawas mengekang hasratnya dan tak sebiji pun dari delima-delima itu yang dia makan kerana semuanya asam, sedang yang dia inginkan adalah yang rasanya manis. Tidak berapa lama kemudian ketika memasuki lembah dia menemukan orang yang terbaring, lemah dan tidak berdaya. Ulat-ulat telah merayapi tubuhnya, tebuan berdesingan di sekelilingnya dan kadang-kadang menyengatnya. Melihat keadaan yang menyedihkan itu, timbullah rasa kasihannya. Setelah menghampirinya dia bertanya kepadanya. "Bolehkah aku mendoakanmu agar engkau terlepas dari penderitaan ini?"

'Tidak", jawab orang itu.

"Mengapa", aku bertanya

"Kerana kesembuhan adalah kehendakku dan penderitaan ini adalah kehendak-Nya"

"Setidak-tidaknya izinkanlah aku mengusir tebuan-tebuan itu", pujukku.

"Khawas", dia menjawab, "usirlah hasratmu terhadap buah-buah delima yang manis rasanya itu. Apakah perlunya engkau mengganggu diriku? Berdoalah untuk kesembuhan hatimu sendiri. Apakah perlunya engkau mendoakan kesembuhan jasmaniku?"

"Bagaimanakah engkau tahu bahwa aku bernama Khawas?"

"Barang siapa mengenai Allah, maka tidak sesuatu pun yang tersembunyi daripadanya", dia menjawab.

"Bagaimanakah perasaanmu terhadap  tebuan-tebuan ini? aku bertanya pula.

"Selama tebuan-tebuan itu menyengat tubuhku dan ulat-ulat ini menggigit-gigit tubuhku, aku merasa berbahagia", jawabnya.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

Thursday 16 February 2017

TIADA MAKSUD SELAIN ALLAH


"Aku telah mendapat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus dari seorang tukang cukur", Junaid merenungi dan setelah itu ia pun berkisah sebagai berikut;
Suatu ketika sewaktu aku berada di Mekkah, aku lihat seorang tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Aku berkata kepadanya: "Jika kerana Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?"

"Aku bersedia", jawab si tukang cukur. Ia segera menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada langganannya itu: "Berdirilah, apabila nama Allah diucapkan, hal-hal yang lain harus ditunda".

Ia menyuruhku duduk. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya rambutku. Setelah selesai ia memberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi beberapa keping mata wang.

"Gunakanlah wang ini untuk keperluanmu", katanya kepadaku.

Aku pun lalu bertekad bahwa hadiah yang pertama sekali aku peroleh sejak saat itu akan aku serahkan kepada si tukang cukur tersebut. Tak lama kemudian aku menerima sekantong wang emas dari Bashrah. Wang ini aku berikan kepada tukang cukur itu.
"Apakah ini?" ia bertanya kepadaku.

''Aku telah bertekad", aku menjelaskan. "hadiah yang pertama sekali aku peroleh akan aku berikan kepadamu. Wang itu baru saja aku terima".

Tetapi si tukang cukur menjawab:
"Tidakkah engkau malu kepada Allah? Engkau telah mengatakan kepadaku: 'Demi Allah cukurlah rambutku', tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

BURUK SANGKA


Ketika Junaid sedang berkhutbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis.
"Orang ini cukup sihat", Junaid berkata di dalam hati. "Ia dapat mencari nafkah. Tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?"

Malam itu Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung.
"Makanlah!", sebuah suara memerintah Junaid.

Ketika Junaid mengangkat tudung itu, terlihatlah olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.

"Aku tidak mahu memakan daging manusia", Junaid menolak.

"Tetapi bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?"
Junaid segera menyedari bahwa ia bersalah kerana telah berbuat fitnah di dalam hatinya dan oleh kerana itu ia dihukum.

"Aku tersentak dalam keadaan takut", Junaid mengisahkan. "Aku segera bersuci dan, melakukan solat sunnat dua raka'at. Setelah itu aku pergi keluar mencari si pengemis. Aku dapatkan ia sedang berada di tepi sungai Tigris. Ia sedang memunguti sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku: 'Junaid, sudahkah engkau bertaubat kerana telah bersangka buruk terhadapku?' Sudah', jawabku. 'Jika demikian pergilah dari sini. Dialah Yang Menerima taubat hamba-hambaNya. Dan jagalah fikiranmu' ".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

REDHA DENGAN TAKDIR ALLAH


Abu 'Utsman Al Hiri berkata: "Selama empat puluh tahun, betapa pun keadaan yang ditakdirkan Allah kepadaku, tidak pernah aku sesali, dan betapa pun Ia merubah keadaanku, tidak pernah membuatku marah".

Kisah berikut ini merupakan bukti kebenaran kata-kata Abu 'Utsman di atas. Seseorang yang tidak mempercayai kata-kata Abu 'Utsman mengirimkan sebuah undangan kepadanya. Undangan itu diterima oleh Abu 'Utsman, maka ia pun pergilah ke rumah orang itu. Tetapi sesampainya di sana orang itu berteriak kepadanya: "Wahai manusia rakus! Di sini tidak ada makanan untukmu. Pulang sajalah."

Abu 'Utsman berganjak meninggalkan tempat itu tetapi belum jauh ia melangkah orang tadi berteriak memanggilnya: "Syeikh, kemarilah!"
Abu 'Utsman berbalik tetapi orang itu terus mengusirnya: "Engkau sangat rakus. Tidak pernah merasa cukup. Pergilah dari sini!".

Si syeikh pun pergi meninggalkan tempat itu. Orang itu memanggilnya lagi dan Abu 'Utsman pun menghampirinya pula. "Makanlah batu atau pulang sajalah!"

Sekali lagi Abu 'Utsman berganjak pergi. Tiga puluh kali orang itu memanggil dan mengusirnya, dan tiga puluh kali pula syeikh Abu 'Utsman datang dan pergi tanpa sedikit pun menunjukkan kejengkelan hatinya. Akhirnya orang itu berlutut di depan Abu 'Utsman, dengan air mata bercucuran ia meminta maaf kepadanya, dan sejak itu ia menjadi murid Abu 'Utsman.

"Engkau benar-benar seorang manusia yang sangat kukuh!", katanya kepada Abu 'Utsman. "Tiga puluh kali engkau kuusir dengan kasar tetapi sedikit pun engkau tidak menunjukkan kemengkalan hatimu".

Abu 'Utsman menjawab: "Hal itu adalah pekara remeh. Anjing-anjing juga berbuat seperti itu. Apabila anjing-anjing itu engkau usir mereka pun pergi dan apabila engkau panggil mereka pun datang tanpa sedikit pun menunjukkan rasa jengkel. Sesuatu hal yang dapat dilakukan anjing, sama sekali tidak ada ertinya. Lain halnya dengan perjuangan manusia".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

KHUTBAH ASY SYIBLI


Syeikh Abu Bakar Asy-Syibli sedang berkhutbah ketika Syeikh Hussein Ab Nuri masuk dan berdiri di sisinya.

"Sejahteralah engkau wahai Abu Bakar!" Nuri mengucap salam kepada Syibli.

"Semoga engkau pun memperoleh sejahtera, wahai pemimpin di antara manusia-manusia yang murah hati", Syibli membalas salamnya.

Nuri berkata: "Allah Yang Maha Besar tidak senang terhadap seorang berilmu yang mengajarkan ilmunya sedang ia sendiri tidak melaksanakannya. Jika engkau melaksanakan hal-hal yang engkau ajarkan ini tetaplah di atas mimbar itu. Jika tidak, turunlah". Syibli merenung. Ternyata ia sendiri tidak melaksanakan hal-hal yang dikhutbahkannya itu. Oleh kerana itu ia pun turun dari atas mimbar itu. Selama empat bulan ia mengunci diri dan tidak pernah keluar dari rumahnya. Kemudian dengan berbondong-bondong orang mendatangi Syibli, membawa dan menyuruhnya berbicara di atas mimbar. Hal ini terdengar oleh Nuri dan ia pun segera ke tempat itu.

"Abu Bakar", Nuri berseru kepada Syibli. "Engkau menyembunyikan kebenaran dari mereka, jadi wajarlah apabila mereka menyuruhmu berbicara di atas mimbar. Aku sendiri dengan setulus hati telah mencuba menasehati mereka tetapi mereka mengusirku dengan lontaran batu dan melemparkanku ke tempat sampah".

"Wahai pemimpin di antara manusia-manusia yang murah hati, apakah nasehat yang hendak kau sampaikan itu dan apakah kebenaran yang aku sembunyikan itu?" Syibli bertanya kepada Nuri.

"Nasehatku", Nuri menjawab, "biarkanlah manusia pergi kepada Tuhannya, Rahsia yang engkau sembunyikan adalah bahwa engkau menjadi sebuah tirai yang memisahkan Allah dari manusia. Siapakah engkau ini sebenarnya sehingga engkau menjadi perantaraan di antara Allah dengan ummat manusia sedangkan menurut pandanganku engkau belum patut dimuliakan seperti itu?"

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

TIADA YANG WUJUD SELAIN ALLAH


Pada suatu hari Abu Hussain An Nuri melihat seseorang yang sedang solat sambil memutar-mutar kumisnya.

"Janganlah engkau sentuh kumis Allah", Nuri mengherdiknya.

Seruan itu dilaporkan orang itu kepada khalifah. Ahli-ahli hukum sudah sepakat bahwa ucapan seperti itu, berarti Nuri telah tergelincir ke dalam kekafiran. Oleh kerana itu Nuri dihadapkan kepada khalifah.

"Benarkah engkau telah mengucapkan kata-kata seperti itu?", tanya khalifah.

"Benar", jawab Nuri.

"Mengapa engkau berkata demikian?", tanya khalifah lagi. "Siapakah yang memiliki hamba Allah?", Nuri balik bertanya kepada khalifah.

"Allah", jawab khalifah.

"Siapakah yang memiliki kumis hamba-Nya itu?", Nuri melanjutkan.

"Dia yang memiliki si hamba", jawab khalifah.

Di kemudian hari khalifah berkata: "Aku bersyukur kepada Allah kerana Dia telah mencegahku untuk membinasakan Nuri".

"Di kejauhan yang tak terlihat, nampaklah olehku sebuah cahaya", Nuri berkata, "aku terus menatapnya hingga aku sendirilah yang menjadi cahaya itu".

Pada suatu hari Junaid pergi mengunjungi Nuri. Sesampainya di rumah Nuri, Nuri menyambut kedatangannya dengan merebahkan diri di depan Junaid. Kemudian Nuri mengeluh kerana dia telah diperlakukan secara tidak adil.

"Perjuanganmu semakin berat, sedangkan engkau sudah kehabisan tenaga. Selama tiga puluh tahun ini, apabila Dia ada maka aku pun tiada, dan apabila aku ada, maka Dia pun tiada. Ada-Nya adalah tiadaku. Semua permohonan-permohonanku dijawab-Nya dengan 'Aku sajalah yang ada, atau engkau saja' ".

Junaid berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Saksikanlah oleh kalian seorang manusia yang telah mengalami percubaan yang sedemikian beratnya dan telah bingung dibuat Allah".

Kemudian Junaid berpaling kepada Nuri dan berkata: "Memang begitulah seharusnya. Dia tertutup oleh engkau.
Apabila Ia terlihat melalui engkau maka engkau menjadi tiada dan segala yang ada adalah Dia".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

Sunday 5 February 2017

BANTAL ABU YAZID AL BUSTHAMI


Dzun Nun Al Misri mengirim sebuah sajadah kepada Abu Yazid Al Busthami. Tetapi Abu Yazid mengembalikannya kepada Dzun Nun sambil berpesan: "Apakah perlu aku dengan sebuah sajadah? Kirimkanlah sebuah bantal sebagai tempatku bersandar". Dengan ucapan tersebut Abu Yazid ingin mengatakan bahwa ia telah berhasil mencapai tujuan.

Maka Dzun Nun mengirimkan sebuah bantal yang empuk. Tetapi bantal itu pun dikembalikan Abu Yazid kerana pada saat itu ia telah bertaubat dan tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Mengenai perbuatannya ini Abu Yazid mengatakan: "Manusia yang berbantalkan kurnia dan kasih Allah tidak memerlukan bantal dari salah seorang di antara hamba-Nya".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar

KEMARAHAN HATIM AL ASAMM


Sa'ad bin Muhammad ar-Razi mengisahkan, telah bertahun-tahun lamanya aku menjadi murid Hatim dan selama itu baru sekali aku melihatnya dalam keadaan marah. Hatim pergi ke pasar dan di sana dilihatnya seorang pedagang sedang menangkap salah seorang langganannya sambil berteriak-teriak.

"Berkali-kali ia mengambil daganganku, kemudian memakannya dan tidak mau membayar".

Hatim segera menengahi: "Tuan, bermurah hatilah!" "Aku tak sudi bermurah hati. Yang aku inginkan adalah wangku sendiri", jawab si pedagang.

Segala pujukan Hatim tidak ada gunanya. Hatim menjadi marah, dilepaskannya jubahnya dan dengan disaksikan orang banyak dihamparkannya jubah itu ke atas tanah. Jubah itu penuh dengan wang emas, semuanya asli, tidak ada yang palsu.

"Ayo, ambillah wang ini sejumlah yang menjadi hakmu," kata Hatim. Awas, jangan ambil lebih daripada itu, jika tidak ingin tanganmu akan terkena penyakit sampar".

Si pedagang mengambil wang sejumlah yang menjadi haknya. Tetapi ia tidak dapat menahan diri, sekali lagi diulurkannya tangannya hendak mengambil lebih banyak, tetapi seketika itu juga tangannya terkena penyakit sampar.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar

KEMATIAN MA'RUF AL KARKHI


Pada suatu hari beberapa orang Syi'ah memecahkan pintu rumah Riza dan menyerang Ma'ruf al karkhi sehingga tulang rusuknya patah. Ma'ruf terbaring dalam keadaan yang sangat mencemaskan.

Sari as-Saqathi berkata kepada Ma'ruf. "Sampaikanlah wasiat-mu yang terakhir"

Ma'ruf berkata: "Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku dan sedekahkanlah. Aku ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika aku dilahirkan dari rahim ibuku".

Ketika Ma'ruf meninggal, prikemanusiaan dan kerendahan hatinya sedemikian mulia sehingga semua kaum, baik yang beragama Yahudi, Kristian, maupun Islam mengakuinya sebagai salah seorang di antara mereka.

Muridnya menyampaikan bahwa Ma'ruf pernah berpesan: "Jika ada suatu kaum yang dapat mengangkat peti matiku nanti, maka aku adalah salah seorang di antara mereka".

Kemudian ternyatalah bahwa orang-orang Kristian tidak dapat mengangkat peti matinya. Begitu pula dengan orang-orang Yahudi. Ketika tiba giliran orang-orang Muslim ternyata mereka berhasil. Kemudian mereka mensolatkan jenazah dan menguburnya di tempat itu juga.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar

MALU KEPADA ALLAH


Ma'ruf al karkhi mempunyai seorang bapa saudara yang menjadi gabenor di suatu kota. Pada suatu hari ketika bapa saudaranya melalui di sebuah padang, ia melihat Ma'ruf sedang makan roti. Di depan Ma'ruf ada seekor anjing. Secara berganti-ganti Ma'ruf memasukkan sekerat roti ke mulutnya sendiri dan ke mulut anjing itu. Menyaksikan perbuatannya itu bapa saudaranya berseru:

"Tidak malukah engkau memakan roti bersama-sama dengan seekor anjing?".

Ma'ruf menjawab. "Kerana mempunyai rasa malulah aku memberikan roti kepada yang miskin".

Kemudian Ma'ruf menengadahkan kepalanya dan memanggil seekor burung yang sedang terbang di angkasa. Si burung hinggap di tangannya, sedang sayap-sayapnya menutupi kepala dan mata Ma'ruf. Setelah itu Ma'ruf berkata kepada bapa saudaranya:

"Jika seseorang malu terhadap Allah, maka segala sesuatu akan malu terhadap dirinya".

Mendengar kata-kata ini bapa saudaranya terdiam dan tidak dapat berkata apa-apa.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar

PENGHORMATAN KELDAI KEPADA BISYR AL HARITH


Diriwayatkan bahwa selama Bisyr masih hidup, tidak ada keldai yang membuang kotorannya di jalan-jalan kota Baghdad kerana menghormati Bisyr yang berjalan dengan kaki ayam. Pada suatu malam seorang lelaki melihat keldai yang dibawanya membuang kotoran di atas jalan. Maka berserulah ia: "Wahai, Bisyr telah tiada!".

Mendengar seruan itu, orang-orang pun pergi menyelidiki. Ternyata kata-katanya itu terbukti kebenarannya. Lalu kepadanya ditanyakan bagaimana ia dapat tahu bahwa Bisyr telah meninggal dunia.

"Kerana selama Bisyr masih hidup, tidak pernah ada kotoran keldai terlihat di jalan-jalan kota Baghdad. Tadi aku melihat bahwa kenyataan itu telah berubah, maka tahulah aku bahwa Bisyr telah tiada".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

Monday 16 January 2017

DOA MA'RUF AL KARKHI


Pada suatu hari ketika Ma'ruf al karkhi berjalan bersama murid-muridnya, mereka bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke tujuan yang sama. Di sepanjang perjalanan sampai ke sungai Tigris anak-anak muda itu menunjukkan tingkah laku yang jelek.

Murid-murid Ma'ruf mendesaknya: "Guru, mintalah kepada Allah Yang Maha Besar untuk membenamkan mereka semua sehingga bumi ini bersih dari kehadiran mereka yang menjijikkan".
Ma'ruf menjawab: "Tadahkanlah tangan kalian!"

Setelah itu berdoalah Ma'ruf: "Ya Allah, karena Engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di atas dunia ini, maka berikan pulalah kepada mereka kebahagiaan di akhirat nanti".

Murid-murid Ma'ruf terheran-heran dan berkata:

"Guru, kami tak mengetahui rahsia yang terkandung di dalam doamu itu".

Ma'ruf menjawab: "Dia, kepada siapa aku berdoa tadi, mengetahui rahasianya. Tunggulah sebentar. Sesaat ini juga rahsia itu akan terbuka".

Ketika remaja-remaja itu melihat syeikh Ma'ruf, mereka segera memecahkan kecapi-kecapi mereka dan menumpahkan anggur yang sedang mereka minum. Dengan tubuh gemetar mereka menjatuhkan diri di depan syeikh dan bertaubat.

Kemudian Ma'ruf berkata kepada murid-muridnya. "Kalian saksikan betapa kehendak kalian telah dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang jua pun".

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar

PERISTIWA YANG MEMBAHAGIAKAN IBRAHIM ADHAM


"Sejak engkau menempuh kehidupan yang seperti ini, apakah engkau pernah mengalami kebahagiaan?", seseorang bertanya kepada Ibrahim Adham.
"Sudah beberapa kali", jawab Ibrahim Adham. "Pada suatu ketika aku sedang berada di atas sebuah kapal dan nakhoda tak mengenal diriku. Aku mengenakan pakaian yang lusuh dan rambutku belum dicukur. Aku sedang berada dalam suatu fana spiritual namun tak seorang pun di atas kapal itu yang mengetahuinya. Mereka menertawai dan memperolok-olokkanku. Di atas kapal itu ada seorang pembadut. Setiap kali ia menghampiriku ia menjambak rambutku dan menampar tengkukku. Pada saat itu aku merasakan bahwa keinginanku telah tercapai dan aku merasa sangat bahagia kerana dihinakan sedemikian rupa".

"Tanpa terduga-duga, datanglah gelombang raksasa. Semua yang berada di atas kapal khuatir kalau-kalau mereka akan tenggelam. 'Salah seorang di antara penumpang harus dilemparkan ke luar agar muatan jadi ringan!', teriak jurumudi. Mereka segera mengangkatku untuk dilemparkan ke laut. Tetapi untunglah seketika itu juga gelombang mereda dan perahu itu tenang kembali. Pada saat mereka menarik telingaku untuk dilemparkan ke laut itulah aku merasakan bahwa keinginanku telah tercapai dan aku merasa sangat berbahagia".

Dalam peristiwa yang lain, aku pergi ke sebuah masjid untuk tidur di sana. Tetapi orang-orang tidak mengizinkan aku tidur di dalam masjid itu sedang aku sedemikian lemah dan letih sehingga tidak sanggup berdiri untuk meninggalkan tempat itu. Orang-orang menarik kakiku dan menyeretku ke luar. Masjid itu mempunyai tiga buah anak tangga. Setiap kali membentur anak tangga itu, kepalaku mengeluarkan darah. Pada saat itu aku merasa bahwa keinginanku telah tercapai. Sewaktu mereka melemparkan diriku ke anak tangga yang berada di bawah, misteri alam semesta terbuka kepadaku dan aku berkata di dalam hati: 'Mengapa masjid ini tidak mempunyai lebih banyak anak tangga sehingga semakin bertambah pula kebahagiaanku!".

"Dalam peristiwa lain, aku sedang asyik dalami fana. Seorang pembadut datang dan mengencingiku. Pada saat itu aku pun merasa berbahagia".

"Dalam sebuah peristiwa, aku mengenakan sebuah mantel bulu. Mantel itu penuh dengan tuma yang mengganyang tubuhku. Tiba-tiba aku teringat akan pakaian bagus yang tersimpan di dalam gudang, tetapi hatiku berseru: 'Mengapa? Apakah semua itu menyakitkan?!' Pada saat itu aku merasa bahwa keinginanku telah tercapai!'

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

KARAMAH AZ ZANIRAH R.A


'Urwah menceritakan bahwa Abu Bakar r.a. memerdekakan tujuh orang di antara hamba-hamba yang disiksa tuannya kerana beriman kepada Allah dan masuk Islam. Di antaranya adalah Zanirah yang menjadi buta kerana disiksa. Orang-orang musyrik mengatakan bahwa yang menyebabkan Zanirah buta hanyalah Lata dan `Uzza. Maka Zanirah menyangkalnya, "Sama sekali tidak, demi Allah bukan Lata dan 'Uzza yang membuatku buta." Kemudian Allah mengembalikan penglihatannya. (Riwayat Al- Baihaqi)

Sumber : Kitab Jami Al Karamat Al Auliya Karangan Syeikh Yusof Al Nabhani