Thursday 15 March 2018

PENYUCIAN DIRI


Dua jenis penyucian: Pertama zahir, ditentukan oleh peraturan agama dan dilakukan dengan membasuh tubuh badan dengan air yang bersih. Keduanya ialah penyucian batin, diperolehi dengan menyedari kekotoran di dalam diri, menyedari dosanya dan bertaubat dengan ikhlas. Penyucian batin memerlukan perjalanan kerohanian dan dibimbing oleh guru kerohanian.

Menurut hukum dan peraturan agama, seseorang menjadi tidak suci dan wuduk menjadi batal jika keluar sesuatu dari rongga badan. Ini perlu diperbaharui dengan wuduk. Dalam hal keluar mani dan darah haid mandi wajib diperlukan. Dalam hal lain, bahagian tubuh yang terdedah - tangan, lengan, muka dan kaki - mesti dibasuh. Mengenai pembaharuan wuduk Nabi s.a.w bersabda, "Pada setiap pembaharuan wuduk Allah perbaharui kepercayaan hamba-Nya yang cahaya iman digilap dan memancar dengan lebih bercahaya". Dan, "Mengulangi bersuci dengan wuduk adalah cahaya di atas cahaya".

Kesucian batin juga boleh hilang, mungkin lebih kerap daripada kesucian zahir, dengan sifat buruk, buruk perangai, perbuatan dan sifat yang merosakkan seperti sombong, takabur, menipu, mengumpat, fitnah, dengki dan marah. Perbuatan secara sedar dan tidak sedar memberi kesan kepada roh: mulut yang memakan makanan haram, bibir yang berdusta, telinga yang mendengar umpatan dan fitnah, tangan yang memukul, kaki yang membawa kepada kejahatan. Zina, yang juga satu dosa, bukan sahaja dilakukan di atas katil. Nabi s.a.w bersabda, "Mata juga berzina".

Bila kesucian batin ditanamkan demikian dan wuduk kerohanian batal, membaharui wuduk demikian adalah dengan taubat yang ikhlas, yang dilakukan dengan menyedari kesalahan sendiri, dengan penyesalan yang mendalam disertai oleh tangisan (yang menjadi air yang membasuh kekotoran jiwa), dengan berazam tidak akan mengulangi kesalahan tersebut, berhasrat meninggalkan semua kesalahan, dengan memohon keampunan Allah, dan dengan berdoa agar Dia mencegahnya daripada melakukan dosa lagi.

Sembahyang adalah menghadap Tuhan. Berwuduk, berada di dalam keadaan suci, menjadi syarat untuk bersembahyang. Orang arif tahu penyucian zahir sahaja tidak memadai, kerana Allah melihat jauh ke dalam lubuk hati, yang perlu diberi wuduk dengan cara bertaubat. Firman Allah:

Inilah apa yang dijanjikan untuk kamu, untuk tiap-tiap orang yang bertaubat, yang menjaga (batas-batas). (Surah Qaaf, ayat 32).

Penyucian tubuh dan wuduk zahir terikat dengan masa kerana tidur membatalkan wuduk. Penyucian ini terikat dengan siang dan malam bagi kehidupan di dalam dunia. Penyucian alam batin, wuduk bagi diri yang tidak kelihatan, tidak ditentukan oleh masa. Ia untuk seluruh kehidupan - bukan sahaja kehidupan sementara di dunia tetapi juga kehidupan abadi di akhirat.

Sumber : Kitab Sirr Al Asror Karangan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.

“ALLAH MENJAWAB AL-FATIHAH KITA”


Dalam Sebuah Hadits Qudsi Allah SWT berfirman:

“Aku membagi al-Fatihah menjadi dua bagian, untuk Aku dan untuk hambaKu.”

Artinya, tiga ayat di atas Iyyaka Na’budu Wa iyyaka nasta’in adalah Hak Allah, dan tiga ayat kebawahnya adalah urusan hambaNya.

Ketika Kita mengucapkan “AlhamdulillahiRabbil ‘alamin”. Allah menjawab: “HambaKu telah memujiKu.”

Ketika kita mengucapkan “Ar-Rahmanir-Rahim”,Allah menjawab: “HambaKu telah mengagungkanKu.”

Ketika kita mengucapkan “Maliki yaumiddin”, Allah menjawab: “Hamba-Ku memuja-Ku.”

Ketika kita mengucapkan “Iyyaka na’ budu wa iyyaka nasta’in”, Allah menjawab: “Inilah perjanjian antara Aku dan hamba-Ku.”

Ketika kita mengucapkan “Ihdinash shiratal mustaqiim, Shiratalladzinaan’amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim waladdhooliin.” Allah menjawab: “Inilah perjanjian antara Aku dan hamba-Ku. Akan Ku penuhi yang ia minta.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)

Sumber : Kitab Iqaz Al Himam karangan Syeikh Ibnu Ajibah.

Dialog Syeikh Abdullah Al-Syanqithi dan Wahabi


Ketika orang-orang Wahabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman, dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. Mereka menyembelih Syeikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syeikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja, juga mereka sembelih.

Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka, akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dibuang dari Hijaz. Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syeikh Abdullah al-Syanqithi, salah seorang ulama berkarisma yang dikenal hafal Sirah Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang tidak dapat melihat dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.

Ulama wahabi itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, kerana taklid buta pada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syeikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada Ulama wahabi itu:

“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah Subhaanahu wa ta’aala telah berfirman dalam al-Qur’an:

وَمَنْ كَانَ فِيْ هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً

“Dan Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).

Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang buta di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”

Mendengar sanggahan Syeikh al-Syanqithi, ulama Wahabi yang buta itu pun menjerit dan memerintahkan agar Syeikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian ulama wahabi itu meminta kepada Ibn Saud agar membuang al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dibuang ke Mesir. 

Sumber : Kitab Ju’nat al-’Aththar Karangan Al-Hafizh Syeikh Ahmad al-Ghumari.

NASEHAT FUDHAIL BIN IYADH KEPADA KHALIFAH HARUN AR-RASYID


Para suatu malam khalifah Harun Ar Rasyid dan Ibnu Rabi' mendatangi ke rumah Fudhail bin iyadh ternyata dia sedang mengerjakan shalat dan membaca sebuat ayat Al-Qur’an yang dia baca berulang-ulang, lalu Ibnu Rabi' mengetuk pintunya, dia bertanya dari dalam: “Siapa ini?” Ibnu Rabi' jawab: “Sambutlah Amirul Mu’minin.” Maka dia menjawab: “Apa urusan saya dengan Amirul Mu’minin?!” Maka Ibnu Rabi' pun menimpali: “Subhanallah, bukankah Anda wajib ta’at, bukankah telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi was sallam bahwa beliau bersabda:

“Seorang mu’min tidak boleh merendahkan dirinya sendiri.”

Maka Fudhail pun membuka pintu, kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya lalu mematikan lampu, setelah itu dia menuju ke salah satu sudut rumahnya. Maka kami pun masuk sambil meraba-raba dengan tangan kami. Maka tangan Amirul Mu’minin lebih dahulu menyentuh tangan Fudhail. Dia pun berkata: “Duhai betapa lembutnya tangan ini jika besok bisa selamat dari adzab Allah Ta’ala.” Saya berkata dalam hati: “Sungguh dia akan berbicara kepada beliau malam ini dengan perkataan yang muncul dari hati yang bersih.” Maka Amirul Mu’minin berkata: “Penuhilah keperluan kami, semoga Allah merahmatimu.”

Fudhail menjawab: “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz ketika diangkat menjadi khalifah, beliau mengundang Salim bin Abdillah bin Umar, Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhy dan Raja’ bin Haiwah, lalu beliau berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku mendapatkan ujian dengan perkara ini, maka berilah aku nasehat!”

Maka Salim bin Abdillah berkata: “Jika Anda besok ingin selamat dari adzab Allah, maka berpuasalah dari dunia dan jadikan berbuka Anda darinya dengan kematian!”

Kemudian Muhammad bin Ka’ab mengatakan: “Jika Anda besok ingin selamat dari adzab Allah, maka jadikanlah orang tua dari kaum Muslimin sebagai ayah bagi Anda, yang sebaya sebagai saudara, dan yang lebih muda dari mereka sebagai anak bagi Anda. Jadi hormatilah ayah Anda, muliakanlah saudara Anda, dan sayangilah anak Anda!”

Lalu giliran Raja’ bin Haiwah berkata: “Jika Anda besok ingin selamat dari adzab Allah, maka cintailah kebaikan bagi kaum Muslimin seperti yang Anda cintai bagi diri Anda sendiri, dan bencilah keburukan atas mereka sebagaimana Anda membenci jika hal itu menimpa Anda. Kemudian meninggallah jika Anda menginginkan!”

Adapun saya maka sesungguhnya saya mengatakan kepada Anda bahwa saya benar-benar mengkhawatirkan keselamatan Anda pada hari kiamat ketika kaki-kaki tergelincir, maka apakah Anda –semoga Allah merahmati Anda– memiliki orang-orang yang menasehati Anda dengan nasehat semacam ini?”

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu hingga jatuh pingsan. Lalu saya pun berkata kepada Fudhail: “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mu’minin, wahai Ibnu Ummir Rabi’, kerana Anda dan shahabat Anda bisa membunuh beliau, dan saya juga akan bersikap lembut kepada beliau.” Ketika Amirul Mu’minin telah sadar, beliau berkata kepada Fudhail: “Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!” Maka Fudhail menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, telah sampai kepada saya bahwa salah seorang gubenor Umar bin Abdul Aziz pernah mengeluh kepada beliau, maka beliau menulis surat kepadanya yang berbunyi: “Wahai saudaraku, aku ingatkan engkau dengan Allah sepanjang lamanya penduduk neraka tidak bisa tidur sepanjang malam di samping kekekalan abadi. Dan jangan sampai malaikat yang ada di sisi Allah mengusirmu dari sisi-Nya sehingga akhir keadaanmu adalah keputusasaan!” Setelah membaca surat itu, maka gubernur tersebut menghadap kepada Umar bin Abdul Aziz, lalu beliau pun bertanya kepadanya: “Kenapa engkau datang kemari?” Dia menjawab: “Anda telah mencabut hati saya dengan surat Anda, maka saya tidak mau lagi mengurusi sebuah wilayah pun hingga saya berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla.”

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!” Fudhail menjawab: “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya Al-Abbas paman Al-Musthafa (Rasulullah) shallallahu alaihi was sallam pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi was sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, angkatlah saya menjadi pemimpin?” Maka Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda kepadanya:

“Sesungguhnya kepemimpinan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat nanti, maka jika engkau mampu untuk tidak menjadi pemimpin, lakukanlah!”
(Shahih Al-Bukhary)

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Tambahlah nasehat kepadaku, semoga Allah merahmatimu!” Fudhail menjawab: “Wahai yang berwajah bagus, Andalah yang akan ditanya oleh Allah tentang hamba-hamba-Nya pada hari kiamat nanti, maka jika Anda mampu untuk bisa menjaga wajah ini dari neraka, jangan sampai Anda memasuki waktu pagi dan sore dalam keadaan di hati Anda terdapat pengkhianatan terhadap seorang pun dari rakyat Anda, karena sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah bersabda:

“Siapa saja yang mengkhinati rakyatnya maka dia tidak akan mencium bau surga.”
(Shahih Al-Bukhary)

Maka Amirul Mu’minin menangis tersedu-sedu, lalu beliau berkata kepada Fudhail: “Apakah engkau memiliki tanggungan hutang?” Dia menjawab: “Ya, hutang kepada Rabbku yang belum Dia tagih. Maka celaku diriku jika Dia telah menanyakannya kepadaku, celaka diriku jika Dia memperhitungkannya, dan celaka diriku jika aku tidak bisa mengemukakan alasan yang tepat.” Beliau menimpali: “Yang ku maksud adalah hutang kepada hamba-hamba Allah.” Fudhail menjawab: “Sesungguhnya Rabbku tidak memerintahkanku untuk melakukan hal ini, yang Dia perintahkan kepadaku adalah agar saya mentauhidkan-Nya dan mentaati perintah-Nya. Dia Azza wa Jalla berfirman:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka hanya beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”(QS. Adz-Dzariyat: 56-58)

Maka Amirul Mu’minin berkata kepadanya: “Ini 1000 dinar, ambillah dan belanjakan untuk kebutuhan keluargamu dan gunakanlah untuk menguatkan ibadahmu.” Fudhail menjawab: “Subhanallah, saya menunjukkan Anda kepada jalan keselamatan, sementara Anda membalasnya dengan yang semacam ini?! Semoga Allah menyelamatkan Anda dan memberi taufik kepada Anda.”

Sumber : Kitab Penghantar Ilmu Tarekat Dan Tasawuf Karangan Prof Dr Aboebakar Atjeh.

BAHASA MABUK CINTA


Dikisahkan ada dua ekor burung layang-layang yang sedang bersuka ria, menyanyikan lagu cinta terbang kesana sini dengan sungguh gembira, bahagia, dan ceria, akhirnya kedua burung layang-layang tersebut pun singgah dan berdiri di kubah kerajaan Nabi Sulaiman. Ketika itu si jantan pun melepaskan rayuan mautnya, 

jantan: sayang, aku sangat mencintaimu,
betina: aku tidak percaya 
jantan: aku berkata jujur 
betina: apa buktinya kalau kau mencintaiku,
jantan: kalau kau mahu bukti, baik akan ku tunjukkan padamu kalau aku benar-benar mencintaimu.
betina: apa buktinya?
jantan: akan ku roboh kubah ini menimpa atas kepala Nabi Sulaiman demi kepercayaanmu bahwa aku mencintaimu.

    Kemudian angin menyampaikan ucapan burung itu kepada Nabi Sulaiman dan beliau memanggil ke dua burung layang-layang tersebut. Nabi Sulaiman bertanya kepada burung jantan, kenapa kau berkata begitu.

Si jantan menjawab sambil tertunduk malu, maafkan saya ya Rasul, saya ini sedang mabuk cinta, sementara orang yang mabuk cinta akan berbicara dengan bahasa cinta dan kemabukkan bukan dengan bahasa ilmiah dan rasional. Akhirnya Nabi Sulaiman tertawa kerana mendengar jawapan si burung itu dan tidak jadi menghukumnya.

Sumber : Kitab Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifati Qawa’id ash-Sufiyyah Karangan Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani.