Sunday 17 August 2014

PUNCA SEBENAR METEOR JATUH


Dari Ibnu Abbas bahawa orang Ansar pada suatu hari, ketika duduk bersama Nabi Muhammad SAW, tiba-tiba mereka melihat bintang atau meteor yang bergeser, kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat Anshar yang ada di situ: Bagaimana keyakinan kalian pada masa Jahiliyah , ketika melihat kejadian seperti ini? Mereka menjawab: Kami dahulu berkeyakinan bahawa bergesernya bintang atau jatuhnya meteor merupakan tanda lahir atau meninggalkannya seorang pembesar. Mendengar jawapan itu, Rasulullah SAW bersabda maksudnya, Sesungguhnya bergesernya bintang atau jatuhnya meteor, tidaklah menunjukkan kematian atau kehidupan seseorang, akan tetapi jika Allah memutuskan sesuatu, maka para pembawa Arsy ( para malaikat ) pada bertasbih." (Riwayat Muslim)

Dijelaskan bahawa jin-jin duduk di suatu tempat di langit untuk mencuri dengar berita-berita dari langit. Mereka adalah jin-jin yang sangat jahat dan menyesatkan. Dahulu jin melakukan hal itu untuk memperoleh berita langit dengan mencuri dengar dari para malaikat dan kemudian mereka sampaikan kepada iblis dan para ahli sihir.

Ibnu Abbas r.a berkata, Rasulullah SAW berangkat bersama serombongan sahabat menuju ke pasar Ukaz. Perkara ini menyebabkan berita-berita langit yang dicuri oleh jin terhalang malahan mereka dilempari dengan panah api sehingga terpaksa pulang ke kaumnya. Setibanya ia di tempat kaumnya, jin itu pun ditanya, "Apa yang terjadi sehingga kalian kembali?" Mereka menjawab, "Kami terhalang untuk mendapatkan berita dari langit. Bahkan kami dikejar oleh bintang-bintang." Kaumnya berkata, "Kita tidak mungkin terhalang dari berita langit. Tentu ada sebabnya. Bertebaran lah kalian ke Timur dan Barat dan carilah sebab kepada penghalangan ini."

Maka bertebaranlah mereka ke Timur dan Barat sehingga sebahagian daripada mereka pun tiba di Tuhamah tempat Rasulullah S.a.w berhenti untuk sembahyang Subuh. Mereka mendengar bacaan ayat Quran dari Rasul serta memerhatikannya, lalu berkata; "Demi Allah, ini lah yang menghalang kita untuk mendapatkan berita dari langit." Kemudian mereka pun pulang ke kaum mereka dan menyampaikan berita tersebut sambil mengagumi Al-Quran yang membawa mereka ke jalan penuh hidayah Allah, sehingga mereka beriman. Maka turunlah ayat ini - Surah Al-Jin : ayat 1 - 2, Sebagai pemberitahuan kepada Nabi Muhammad S.a.w untuk diceritakan kepada umatnya tentang kejadian tersebut. 

Katakanlah (wahai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadaku, bahawa sesungguhnya: satu rombongan jin telah mendengar (Al-Quran yang aku bacakan), lalu mereka (menyampaikan hal itu kepada kaumnya dengan) berkata: `Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Quran (sebuah Kitab Suci) yang susunannya dan kandungannya sungguh menakjubkan!. Kitab yang memberi panduan ke jalan yang betul, lalu kami beriman kepadanya, dan kami tidak sekali-kali akan mempersekutukan sesuatu makhluk dengan Tuhan kami.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu' alaihi wa sallam bersabda, "Apabila Allah menetapkan suatu ketetapan di langit, maka para malaikat mengepakkan sayap mereka kerana tunduk terhadap firman-Nya, seperti layaknya suara rantai yang digesek di atas batu. Setelah rasa takut itu dicabut dari hati para malaikat, mereka bertanya-tanya:'Apa yang telah difirmankan oleh Tuhan kamu?' Malaikat yang mendengar menjawab, 'Dia berfirman yang benar. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar. 'Bisikan malaikat ini didengar oleh jin pencuri berita. Jin yang paling atas mendengar ucapan malaikat, kemudian disampaikan kepada jin bawahnya, dan seterusnya, hingga jin yang paling bawah menyampaikannya kepada tukang sihir atau dukun. Kadang-kadang mereka mendapat panah api sebelum dia sampaikan kepada ahli sihir, dan kadang-kadang berjaya disampaikan sebelum terkena panah api. Kemudian ahli sihir mencampurkan dengan 100 pembohongan. (Sehingga ada 1 yang benar). Orang mengatakan, bukankah ahli sihir telah mengatakan demikian dan dia benar? Akhirnya ahli sihir dibenarkan dengan satu kalimat yang benar yang dicuri dari langit. (HR. Bukhari 4800).

Sumber : Kitab Ensiklopedia Syamail Rasulullah

SIRAH NABI : BERKATNYA MENJADI PELAYAN RASULULLAH


Safinah, pelayan Rasulullah Saw bercerita:

"Pada suatu hari aku naik kapal mengharungi lautan. Di tengah laut kapalku pecah. Aku kemudian berpegangan pada sebilah papan pecahan kapal tersebut hingga terdampar di sebuah rimba belantara yang dihuni singa. Tiba-tiba seekor singa menatapku dan berjalan mendekatiku. Ia nampak ingin menerkamku. Aku pun segera berkata padanya :

"Hai singa, aku adalah pelayan Rasulullah Sollalahu Alaihi Wa Sallam". 

Singa itu mengangguk-anggukan kepalanya dan berjalan menghampiriku. Kemudian ia membawaku ke luar rimba menuju jalan yang boleh dilalui orang. Kemudian ia mengaum secara perlahan, mengucapkan salam perpisahan denganku. Setelah itu aku tidak bertemu lagi dengannya."

Sumber : Kitab Ensiklopedia Syamail Rasulullah

Saturday 9 August 2014

SIRAH NABI : SA’ID BIN AMIR AL-JUMAHI PEMIMPIN BERSAHAJA


Seorang pakar sejarah pernah berkata, "Sa’id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya."


Sa’id bin Amir Al-Jumahi adalah seorang anak muda, satu di antara ribuan orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy. 


Panggilan ini adalah untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin Adiy, salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang diculik oleh mereka.


Susuk tubuhnya yang gagah membuat Sa'id mendapatkan kedudukan yang lebih daripada orang-orang. Sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.


Ketika rombongan yang garang ini datang dengan tawanannya di tempat yang telah disediakan, Sa’id bin Amir berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban. Dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak. Khubaib berkata, “Izinkan aku untuk solat dua rakaat sebelum pembunuhanku ini, jika kalian berkenan.”


Kemudian Sa'id memandangnya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan solat dua rakaat. Alangkah bagusnya dan indahnya solatnya itu. Kemudian ia melihat Khubaib menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak menyangka bahwa aku memperpanjang solat kerana takut mati, tentu aku telah memperbanyakkan solat.”


Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup. 


Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami, hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satu pun dari mereka." 


Kemudian Khubaib bin Adiy menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.


Orang-orang Quraisy kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya kerana banyak kejadian-kejadian setelahnya. Namun, Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak boleh menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap. 


Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka. Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan solat dua rakaat dengan tenang di depan kayu salib. Dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdoa untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau tersambar petir atau ditimpa batu dari langit.


Khubaib telah mengajar Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarnya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah akidah dan jihad di Allah hingga akhir hayat. Ia mengajarnya juga bahwa iman yang kukuh akan membuat keajaiban dan kemukjizatan.


Dan Khubaib mengajarnya sesuatu yang lain, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.


Semenjak itu, Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam. Ia lalu berdiri di hadapan orang ramai dan mengisytiharkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.


Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, Sa'id mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah Abu Bakar dan Umar. 


Ia hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang Mukmin yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keredhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya. Kedua khalifah itu telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir. Keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan memerhatikan pendapatnya.


Pada awal kekhilafahan Umar, Sa'id menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia. Dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah. Dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, kerana sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan."


Maka Umar berkata, "Siapakah yang mampu menjalankan itu, wahai Sa’id?”


Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, iaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya. Dan tidak ada seorang pun perantara antara ia dan Allah.”


Setelah itu Umar mengajak Sa’id untuk membantunya. “Wahai Sa’id, kami menugaskan kau sebagai gabenor Himsh,” kata Umar. 


Sa'id menjawab, "Wahai Umar, aku ingatkan dirimu terhadap Allah. Janganlah kau menjerumuskanku ke dalam fitnah." 


Maka Umar pun marah dan berkata, "Celaka kalian! Kalian menaruh urusan ini di atasku, lalu kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepasmu.” 


Kemudian Umar mengangkat Sa'id bin Amir menjadi gabenor di Himsh. “Kami akan memberimu gaji,” kata Umar. 


“Untuk apa gaji itu, wahai Amirul Mukminin? Kerana pemberian untukku dari Baitul Mal telah melebihi keperluanku,” jawab Sa'id. Ia pun berangkat ke Himsh.


Tidak lama kemudian datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab. 


Umar berkata kepada mereka, “Tuliskan nama-nama orang fakir kalian, supaya aku dapat menutup keperluan mereka!” 


Maka mereka menulis selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, Fulan dan Sa’id bin Amir. Umar bertanya, Siapakah Sa’id bin Amir ini?” 


Mereka menjawab, “Gabenor kami.” 


“Gabenormu fakir?” 


“Benar, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api.” 


Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata. Kemudian ia mengambil 1.000 dinar dan menaruhnya dalam kantung kecil dan berkata, "Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin memberi anda harta ini, supaya anda dapat menutup keperluan anda!”


Saat para utusan itu mendatangi Sa’id dengan membawa kantong. Sa’id membukanya, ternyata di dalamnya ada wang dinar. Ia lalu meletakkannya jauh dari dirinya dan berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)," seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya.


Hingga keluarlah isterinya dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa, wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?" 


“Bahkan lebih besar dari itu,” timpal Sa'id. 


“Apakah orang-orang Muslim dalam bahaya?” 


“Bahkan lebih besar dari itu.” 


“Apa yang lebih besar dari itu?” 


“Dunia telah memasuki diriku untuk merosakkan akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.” 


Isterinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” Saat itu isterinya tidak mengetahui tentang wang-wang dinar itu sama sekali.


“Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” tanya Sa'id.


“Ya,” kata sang isteri . Sa'id lalu mengambil wang-wang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil, kemudian menyuruh istrinya untuk membagikannya kepada orang-orang Muslim yang fakir.


Tak lama kemudian Umar bin Khathab datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan. Dan ketika singgah di Himsh, penduduk menyambut dan menyalaminya. Umar bertanya kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gabenor kalian?”


Maka mereka mengadukan kepadanya tentang empat hal, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar kemudian memanggil Sa'id dan 'mengadilinya' di hadapan penduduk.


“Apa yang kalian keluhkan dari gabenor kalian?” tanya Umar.


Mereka menjawab, “Ia tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” 


“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” kata Umar.


Sa'id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka setiap pagi aku membuat adunan, kemudian menunggu sebentar sehingga adunan itu mengembang. Kemudian aku buat adunan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.” 


"Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar.


Mereka menjawab, “Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.” 


“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?”


“Sesungguhnya, Demi Allah, aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id. 


“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar lagi.


Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.” 


“Dan apa ini, wahai Sa’id?” 


Sa'id menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada esok hari.” 


“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” 


Mereka menjawab, “Ia sering pengsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majlisnya.” 


“Dan apa ini, wahai Sa’id?” 


“Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik. Dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, 'Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?' Maka Khubaib berkata, 'Demi Allah, aku tidak ingin merasa tenang dengan isteri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri.' Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku, maka aku pun jatuh pengsan,” tutur Sa'id.


Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya.” 


Kemudian Umar memberikan 1.000 dinar kepada Sa'id. Dan ketika istrinya melihat wang itu, ia berkata kepada Sa'id, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu."


“Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” tanya Sa'id pada isterinya.


“Apa itu?”


“Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih memerlukannya.” 


“Bagaimana maksudnya?” 


“Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik,” kata Sa'id.


Isterinya berkata, “Benar, dan semoga kau mendapat balasan kebaikan.” 


“Berikanlah ini kepada jandanya fulan, kepada anak-anak yatimnya fulan, kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan," kata Sa'id.


Mudah-mudahan Allah meredhai Sa’id bin Amir Al-Jumahi, kerana ia termasuk orang-orang yang mendahulukan orang lain atas dirinya, walaupun dirinya sangat memerlukannya.

SIRAH NABI : JANJI SYAIDATINA AISYAH


Pagi masih menaungi kota Madinah dengan cahaya mentari penuh kelembutan dan kedamaian. Panasnya hawa padang pasir belum begitu menyengat tubuh. Jalan-jalan mulai dilalui oleh orang orang yang hendak menuju ke pasar. Ada juga yang telah bersiap pergi ke kebun dan ladang, pohon kurma dan aneka buah-buahan telah menanti siap dipetik untuk dimanfaatkan bagi keperluan keluarga. Sebagiannya mereka jual di pasar untuk membeli keperluan hidup lainnya.

Nampak seorang lelaki tengah berjalan menuju arah masjid. Jalannya agak dipercepat mungkin kerana ada keperluan yang terasa penting. Tiba di ujung jalan ia membelok ke arah kanan dan kemudian melanjutkan langkah kakinya hingga berhenti di depan sebuah rumah disebelah Masjid An Nabawi. Lelaki itu bernama Munkadir iaitu seorang tabi'in dan ia kini ada didepan rumah Ummul Mukminin Aisyah r.a untuk meminta bantuan kepada Aisyah soal kewangan. Setelah mengucap salam maka terdengar balasan salam dari dalam rumah, rupanya Aisyah r.a sedang ada dirumahnya. setelah keluar rumah Aisyah bertanya "Wahai Munkadir, ada keperluan apa engkau ke mari?". Kemudian Munkadir menjawab "Aku belum menikah dan ingin membeli seorang budak untuk ku nikahi. apakah engkau boleh membantuku untuk meringankan masalah kewanganku ini?". Kebetulan pada hari itu Ummul Mukminin tidak memiliki wang sedikit pun. Aisyah r.a berkata 'Maaf, pada saat ini saya tidak mempunyai apa+apa. Seandainya saya mempunyai sepuluh ribu dirham, semuanya tentu akan saya berikan kepadamu. Akan tetapi sekarang ini saya tidak mempunyai apa-apa.

Munkadir sedikit berkecil hati kerana tidak memperoleh apa-apa. Maka ia melangkah pulang menuju rumahnya. Tak berapa lama kemudian datang seseorang bernama Khalid bin Asad r.a membawa sekantung wang berjumlah sepuluh ribu dirham dan memberikannya kepada Aisyah r.a. Sejenak Aisyah r.a termenung memikiran peristiwa sebelumnya yang terjadi lalu ia berkata 'Saya sedang diuji dengan ucapan saya kepada Munkadir." Kemudian ia segera mengirimkan seluruh wang yang di terimanya itu kepada Munkadir . Dengan wang seribu dirham pemberian Aisyah r.a itu, Munkadir  membeli seorang hamba sahaya perempuan yang kemudian dinikahinya. Pernikahan mereka berlangsung dalam suasana penuh kebahagian dan saling mencintai. Dari pernikahan itu ia mendapatkan 3 orang anak yakni Muhammad, Abu Bakar, dan Umar. Sejak masih muda ketiga orang itu terkenal kesolehannya di kota Madinah Munawaroh.

Subhanallah, sungguh beruntung Aisyah r.a yang menjadi sebab pernikahan Munkadir. Ujian harta yang menghinggapinya tidak memalingkannya dari janji yang ia ucapkan. Janji yang ia ucapkan ibarat air ludah yang tidak mungkin ditelan lagi. Dan kembali Aisyah r.a menunjukkan akhlaknya sebagai seorang wanita yang sholeh lagi zuhud yang mana sifat itu ia dapatkan dari teladan yang ia dapatkan dari suami tercinta, Rasulullah SAW dan ayahnya, Abu Bakar Ash Siddiq r.a.

Ada sebuah kisah menarik dari seorang sahabat Abu Bakar yang juga punya hobi bersedekah. Kesukaanya dalam bersedekah telah menjadikannya seorang yang tidak boleh ditandingi oleh siapa pun diantara sahabat sahabat yang lain. Pernah ia membagi bagikan dua kantong penuh berisi wang, yang berjumlah lebih dari seratus ribu dirham untuk di bagi bagikan kepada fakir miskin tanpa meninggalkan satu dirham pun, padahal ia memerlukannya untuk berbuka puasa. Kisah semacam ini juga terdapat dalam riwayat lain yang menyebutkan besarnya wang dalam kantong yang di berikan kepada fakir miskin sebesar 181, 111 dirham.

Inilah contoh teladan teladan agung dari seorang ayah dan anaknya, keagungan sifat mereka menjadi penawar dari banyak permasalahan dan kesempitan hidup masyarakat disekelilingnya. 
 

Wednesday 6 August 2014

SIRAH NABI : KISAH SERIGALA YANG BOLEH BERKATA-KATA


Dari Abu Hurairah RA, Ada seekor serigala datang kepada seorang gembala kambing. Kemudian serigala itu terus menerkam seekor kambing pengembala tersebut. Pengembala itu berusaha merebutnya dari serigala tersebut hingga berhasil menyelamatkan kambing tersebut. Serigala itu segera naik ke bukit dan berkata, "Aku berhasil menerkam mangsaku yang diberikan oleh Allah. Patutkah engkau merampasnya dariku ?". 

Pengembala yang dalam kehairanan itu berkata, "Demi Allah Aku tidak pernah melihat seekor serigala berbicara seperti yang ku lihat pada hari ini". Serigala itu berkata, "Bahkan yang lebih hairan lagi adalah jika kamu tidak percaya pada seseorang yang berada di Madinah yang memberitahu kepada kamu tentang apa yang telah terjadi dan akan terjadi".

Pengembala itu adalah seorang Yahudi. Kemudian ia datang memberitahu kepada Rasulullah SAW kisah yang telah dialami dan terus memeluk Islam.

Nabi membenarkan apa yang diceritakan oleh si pengembala tersebut dan baginda berkata, "Itu adalah sebahagian daripada tanda-tanda hari kiamat, kelak akan datang pula tanda-tanda yang lain, iaitu seseorang akan keluar dan apabila dia balik akan diberitahu oleh kasutnya atau cemetinya tentang apa yang telah terjadi kepada keluarganya sepanjang sepeninggalannya".

Sumber : Ensiklopedia Syamail Rasulullah

Tuesday 5 August 2014

KISAH MEMBAKAR KITAB IHYA ULUMUDDIN


“Dikisahkan bahawa Abul Hasan Ali bin Harzahim al-Faqih adalah orang yang sangat mengingkari kitab ihya’ ulumiddin. Saat itu dia adalah orang yang sangat ditaati dan kata-katanya didengari oleh masyarakat luas. Maka dia memerintahkan para pengikut untuk mencari dan mengumpulkan naskah-naskah kitab ihya ulumuddin dan dia bermaksud untuk membakar naskah-naskah kitab ihya ulumuddin tersebut di masjid jami' pada hari jumat.

Dan ternyata pada malam hari jumatnya dia bermimpi seakan-akan sedang masuk ke masjid jami'. Tiba-tiba di situ dia bertemu nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakar dan Umar, dan Imam Ghazali juga sedang berada di hadapan nabi. Ketika Ibnu Harzahim datang, Imam Ghazali berkata, “Ya Rasulullah, dialah orangnya yang memusuhiku. Jika yang benar adalah seperti yang dia yakini, maka aku bertaubat kepada Allah dan jika benar apa yang aku tulis kerana mengharap berkahmu dan mengikuti sunnahmu, maka ambilkan untukku hakku dari orang yang memusuhiku.”

Kemudian nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta kitab ihya ulumuddin dan dibukanya lembaran demi lembaran dari awal hingga akhir. Lalu berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah sesuatu yang bagus.”

Kemudian Abu Bakar berganti membuka dan membaca isinya. Demikian juga Umar, yang keduanya sama-sama mengatakan bagus. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar baju al-Faqih Ali bin Harzahim dilepas untuk menerima pukulan dan hadd (hukuman) sebagai pembohong. Ketika sampai pukulan kelima Abu Bakar meminta keampunan untuknya dan berkata, “Ya Rasulullah, barangkali dia mengira dia telah mengikuti sunnahmu dan ternyata dia keliru.” Dan imam Ghazali bersetuju serta menerima permintaan Abu Bakar. Sampai disitu bangunlah Ibnu Harzahim dan di punggungnya terdapat bekas pukulan. 

Lalu dia memberitahukan hal tersebut kepada kawan-kawannya dan dia pun bertaubat kepada Allah atas keingkarannya terhadap imam Ghazali dan beristighfar kepada-Nya. Selama beberapa waktu Ibnu Harzahim masih merasakan kesakitan dari bekas pukulan itu. Maka dia pun berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan Rasulullah sampai suatu ketika dia bermimpi lagi bertemu Rasulullah yang datang kepadanya dan mengusapkan tangannya yang mulia pada punggungnya. Maka sembuhlah dia dengan izin Allah. Kemudian setelah itu dia menekuni mengkaji kitab Ihya ulumuddin dan Allah memberikan Futuh (pembukaan) kepadanya serta memperoleh ma’rifatullah dan menjadi salah satu seorang pembesar kepada para masyayikh, menjadi orang yang ahli ilmu dan ilmu bathin Rahimahullah.

Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili yang hidup sezaman dengan Ibnu Harzahim mengatakan, “Dan pada hari wafatnya syaikh Ibu Harzahim, bekas pukulan itu masih nampak jelas pada punggung beliau.”

Sumber : Kitab Minhajul Al Abidin Ila Jannah Rab Al Alamin Terjemahan Syeikh Daud Bin Abdullah Al Fatani Karangan Imam Ghazali

Monday 4 August 2014

SIRAH NABI : ABBAS BIN ABDUL MUTHALIB BAPA SAUDARA KESAYANGAN NABI


Abbas bin Abdul Muthalib adalah bapa saudara Rasulullah SAW dan salah seorang yang paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya. Oleh sebab itu, Beliau SAW senantiasa berkata,

"Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."

Pada zaman Jahiliyah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam Baiat Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah.

Abbas adalah saudara bungsu ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muthalib. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah.

Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Ibunya lalu bernazar, kalau putranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama kemudian, Abbas ditemukan, maka ia pun menepati nazarnya itu.

Abbas kemudian menikah dengan Lubabah binti Harits, juga dikenal dengan sebutan Ummu Fadhl, yang dalam sejarah Islam menjadi wanita kedua yang masuk Islam. Lubabah masuk Islam pada hari yang sama dengan sahabatnya, Khadijah binti Khuwailid, yang tidak lain adalah isteri Muhammad SAW. 

Pada tahun-tahun awal perjuangan Nabi SAW menyampaikan dakwah Islam, Abbas selalu melindungi Rasulullah dari orang-orang Quraisy yang hendak mencelakakan beliau. Walaupun pada saat itu, ia sendiri belum masuk Islam.

Para ahli sejarah berbeza pendapat tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan lama sebelum Perang Badar.

Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib, Abbas tetap tinggal di Makkah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar.

Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadi bencana hebat dan kemarau panas. Orang-orang bertemu kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing.

Umar menganjurkan kepada Muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat.

Ka'ab menemui Khalifah Umar seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."

Umar berkata, "Ini dia bapa saudara Rasulullah dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim."

Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan bencana itu. Kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, 

"Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan bapa saudara Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"

Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu. Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali kerana dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali kerana taubat. Kini umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami..."

Ternyata doanya itu langsung diterima dan diijabah Allah SWT. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Makkah dan Madinah."

Abbas bin Abdul Muththalib, bapa saudara Rasululah SAW dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh sahabat yang ikut mengibarkan panji Islam. Telah tercatat sejarah dengan Baiat Aqabah Kubra. Ia bertindak sebagai seorang penasihat dan juru runding, menyertai dalam majlis itu.

Abbas ra wafat pada hari Jumat, 12 Rajab 32 H, dalam usia 82 tahun. Ia dikebumikan di Baqi', Madinah.

SIRAH NABI : ABU SUFYAN BIN HARITS KETUA PEMUDA SURGA


Tidak ada tali yang menghubungkan dua pribadi seperti yang mengikat Rasulullah SAW dengan Abu Sufyan bin Harits. Dua insan itu lahir nyaris bersamaan. Keduanya sebaya dan dibesarkan dalam keluarga yang sama. 

Abu Sufyan bukan Abu Sufyan bin Harb, ayah Muawiyah adalah sepupu Rasulullah SAW. Ayahnya, Harits bin Abdul Muthalib, adalah saudara Abdullah, ayah Nabi Muhammad. Hubungan keduanya menjadi semakin erat kerana mereka disusui oleh Halimah Sa'diyah secara bersamaan. Mereka pun menjadi dua sahabat bermain yang saling mengasihi satu sama lain.

Kerana hubungan yang demikian erat tersebut, maka kebanyakan orang menyangka Abu Sufyanlah yang akan paling dahulu menyambut seruan Rasulullah SAW, dan dialah yang paling cepat memercayai serta mematuhi ajarannya dengan setia.

Namun kenyataannya tidak. Bahkan sebaliknya, justeru ketika Rasulullah mulai menyampaikan dakwah di kalangan kerabatnya secara sembunyi-sembunyi, api kebencian menyala di hati Abu Sufyan. Kepercayaan dan kesetiaannya selama ini berubah menjadi permusuhan. Hubungan kasih sayang sebagai satu keluarga, satu saudara, sebaya dan sepermainan, pupus dan berubah jadi pertentangan.

Abu Sufyan adalah penunggang kuda yang terkenal dan penyair berimaginasi tinggi. Dengan dua keistimewaannya itu, ia tampil memusuhi dan memerangi Rasulullah yang saat itu mulai berdakwah secara terang-terangan.

Bila kaum Quraisy menyalakan api permusuhan melawan Rasulullah dan kaum Muslimin, maka Abu Sufyan pasti tampil di antara mereka. Lidahnya yang selalu menyemburkan syair terus menyindir Rasulullah dengan kata-kata kotor dan menyakitkan hati. Keadaan itu terus berlangsung selama dua puluh tahun.

Akhirnya, Allah melapangkan dada Abu Sufyan untuk menerima Islam sebagai agamanya. Lalu bersama puteranya, Ja'far, ia berangkat menemui Rasulullah di Madinah. 

Ketika bertemu Rasulullah, Abu Sufyan menjatuhkan diri di hadapan beliau. Namun Rasulullah memalingkan wajahnya, tidak mau menerima Abu Sufyan. Ia pun mendatangi Nabi dari arah lain, tetapi Rasulullah tetap menghindar. Hal itu terjadi beberapa kali. 

Setelah berlangsung beberapa lama, akhirnya Rasulullah menerima keislaman Abu Sufyan. Beliau bersabda, "Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan."

"Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudhu dan sholat," pinta Abu Sufyan. Demikianlah, akhirnya Abu Sufyan memeluk agama Islam dan menjadi pelindung utama Rasulullah SAW.

Sejak keislamannya, Abu Sufyan menghabiskan waktunya dengan beribadah dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketertinggalannya.

Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah Fathu Makkah, ia selalu ikut bersama Rasulullah. Ketika berlangsung Perang Hunain, Abu Sufyan tidak mahu ketinggalan dalam membela panji-panji Islam.

Kala itu Abu Sufyan tengah memegang erat kendali kuda Rasulullah. Ia ingin berjuang di jalan Allah dan syahid di hadapan beliau. Maka sambil memegang erat tali kekang dengan tangan kirinya, tangan kanannya memegang pedang seraya menebas tiap musuh yang mencubaa mendekati dan menyerang Rasulullah SAW. Akhirnya kaum Muslimin meraih kemenangan dalam perang itu.

Ketika suasana agak tenang, Rasulullah memandang ke arah sekitarnya. Didapatinya seorang mukmin tengah memegang erat-erat tali kekang kudanya. Rupanya, sejak pertempuran berlaku, orang itu tetap berada di tempatnya dan tidak pernah meninggalkannya. Ia tetap berdiri melindungi Rasulullah.

Rasulullah menatapnya dekat-dekat, lalu berkata, "Siapakah ini? Oh, saudaraku Abu Sufyan bin Harits! Aku telah meredhai mu dan Allah telah mengampuni dosa-dosamu."

Mendengar ucapan Rasulullah SAW itu, hati Abu Sufyan berbunga-bunga. Semangatnya kembali muncul. Ia pun kembali bergabung dalam barisan kaum Muslimin yang mengejar sisa-sisa pasukan musuh.

Sejak Perang Hunain itu, Abu Sufyan benar-benar merasakan nikmat Allah dan keredhaanNya . Dia merasa mulia dan bahagia menjadi sahabat Rasulullah. Hari-harinya dipenuhi dengan ibadah, mentadabburi Al-Qur'an, dan mengamalkannya. Dia berpaling dari kemewahan dunia, dan menghadap Allah dengan seluruh jiwa raganya.

Suatu ketika, Rasulullah melihatnya di dalam masjid. Beliau berkata kepada Aisyah, "Wahai Aisyah, tahukah kamu siapakah orang itu?"

"Tidak, ya Rasulullah," jawab Aisyah.

"Dia anak bapa saudaraku, Abu Sufyan bin Harits. Perhatikanlah, dialah yang paling pertama masuk masjid dan paling terakhir keluar. Pandangannya tidak pernah beranjak dan tetap menunduk ke tempat sujud. Dialah ketua pemuda di surga."

Pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab, Abu Sufyan merasa ajalnya sudah dekat. Lalu digalinya kuburan untuk dirinya sendiri. Dan tidak lebih dari tiga hari setelah itu, maut pun datang menjemputnya, seolah memang telah berjanji sebelumnya.

Sebelum ruhnya meninggalkan jasad, ia berpesan kepada keluarganya, "Sekali-kali janganlah kalian menangisiku. Demi Allah, aku tidak melakukan dosa sedikit pun sejak masuk Islam."

Khalifah Umar turut menyolatkan jenazahnya. Al-Faruq menitiskan air mata duka atas kepergian salah seorang sahabatnya itu.