Saturday 9 August 2014

SIRAH NABI : SA’ID BIN AMIR AL-JUMAHI PEMIMPIN BERSAHAJA


Seorang pakar sejarah pernah berkata, "Sa’id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya."


Sa’id bin Amir Al-Jumahi adalah seorang anak muda, satu di antara ribuan orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy. 


Panggilan ini adalah untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin Adiy, salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang diculik oleh mereka.


Susuk tubuhnya yang gagah membuat Sa'id mendapatkan kedudukan yang lebih daripada orang-orang. Sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.


Ketika rombongan yang garang ini datang dengan tawanannya di tempat yang telah disediakan, Sa’id bin Amir berdiri tegak memandang Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban. Dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak. Khubaib berkata, “Izinkan aku untuk solat dua rakaat sebelum pembunuhanku ini, jika kalian berkenan.”


Kemudian Sa'id memandangnya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan solat dua rakaat. Alangkah bagusnya dan indahnya solatnya itu. Kemudian ia melihat Khubaib menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak menyangka bahwa aku memperpanjang solat kerana takut mati, tentu aku telah memperbanyakkan solat.”


Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup. 


Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami, hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satu pun dari mereka." 


Kemudian Khubaib bin Adiy menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.


Orang-orang Quraisy kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya kerana banyak kejadian-kejadian setelahnya. Namun, Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak boleh menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap. 


Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka. Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan solat dua rakaat dengan tenang di depan kayu salib. Dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdoa untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau tersambar petir atau ditimpa batu dari langit.


Khubaib telah mengajar Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarnya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah akidah dan jihad di Allah hingga akhir hayat. Ia mengajarnya juga bahwa iman yang kukuh akan membuat keajaiban dan kemukjizatan.


Dan Khubaib mengajarnya sesuatu yang lain, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.


Semenjak itu, Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam. Ia lalu berdiri di hadapan orang ramai dan mengisytiharkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.


Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, Sa'id mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah Abu Bakar dan Umar. 


Ia hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang Mukmin yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keredhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya. Kedua khalifah itu telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir. Keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan memerhatikan pendapatnya.


Pada awal kekhilafahan Umar, Sa'id menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia. Dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah. Dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, kerana sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan."


Maka Umar berkata, "Siapakah yang mampu menjalankan itu, wahai Sa’id?”


Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, iaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya. Dan tidak ada seorang pun perantara antara ia dan Allah.”


Setelah itu Umar mengajak Sa’id untuk membantunya. “Wahai Sa’id, kami menugaskan kau sebagai gabenor Himsh,” kata Umar. 


Sa'id menjawab, "Wahai Umar, aku ingatkan dirimu terhadap Allah. Janganlah kau menjerumuskanku ke dalam fitnah." 


Maka Umar pun marah dan berkata, "Celaka kalian! Kalian menaruh urusan ini di atasku, lalu kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepasmu.” 


Kemudian Umar mengangkat Sa'id bin Amir menjadi gabenor di Himsh. “Kami akan memberimu gaji,” kata Umar. 


“Untuk apa gaji itu, wahai Amirul Mukminin? Kerana pemberian untukku dari Baitul Mal telah melebihi keperluanku,” jawab Sa'id. Ia pun berangkat ke Himsh.


Tidak lama kemudian datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab. 


Umar berkata kepada mereka, “Tuliskan nama-nama orang fakir kalian, supaya aku dapat menutup keperluan mereka!” 


Maka mereka menulis selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, Fulan dan Sa’id bin Amir. Umar bertanya, Siapakah Sa’id bin Amir ini?” 


Mereka menjawab, “Gabenor kami.” 


“Gabenormu fakir?” 


“Benar, dan demi Allah sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api.” 


Maka Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata. Kemudian ia mengambil 1.000 dinar dan menaruhnya dalam kantung kecil dan berkata, "Sampaikan salamku, dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin memberi anda harta ini, supaya anda dapat menutup keperluan anda!”


Saat para utusan itu mendatangi Sa’id dengan membawa kantong. Sa’id membukanya, ternyata di dalamnya ada wang dinar. Ia lalu meletakkannya jauh dari dirinya dan berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)," seolah-olah ia tertimpa musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya.


Hingga keluarlah isterinya dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa, wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?" 


“Bahkan lebih besar dari itu,” timpal Sa'id. 


“Apakah orang-orang Muslim dalam bahaya?” 


“Bahkan lebih besar dari itu.” 


“Apa yang lebih besar dari itu?” 


“Dunia telah memasuki diriku untuk merosakkan akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.” 


Isterinya berkata, “Bebaskanlah dirimu darinya.” Saat itu isterinya tidak mengetahui tentang wang-wang dinar itu sama sekali.


“Apakah kamu mau membantu aku untuk itu?” tanya Sa'id.


“Ya,” kata sang isteri . Sa'id lalu mengambil wang-wang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong kecil, kemudian menyuruh istrinya untuk membagikannya kepada orang-orang Muslim yang fakir.


Tak lama kemudian Umar bin Khathab datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan. Dan ketika singgah di Himsh, penduduk menyambut dan menyalaminya. Umar bertanya kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gabenor kalian?”


Maka mereka mengadukan kepadanya tentang empat hal, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya. Umar kemudian memanggil Sa'id dan 'mengadilinya' di hadapan penduduk.


“Apa yang kalian keluhkan dari gabenor kalian?” tanya Umar.


Mereka menjawab, “Ia tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” 


“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” kata Umar.


Sa'id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka setiap pagi aku membuat adunan, kemudian menunggu sebentar sehingga adunan itu mengembang. Kemudian aku buat adunan itu menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.” 


"Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar.


Mereka menjawab, “Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.” 


“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?”


“Sesungguhnya, Demi Allah, aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id. 


“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar lagi.


Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.” 


“Dan apa ini, wahai Sa’id?” 


Sa'id menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada esok hari.” 


“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” 


Mereka menjawab, “Ia sering pengsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majlisnya.” 


“Dan apa ini, wahai Sa’id?” 


“Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik. Dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, 'Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?' Maka Khubaib berkata, 'Demi Allah, aku tidak ingin merasa tenang dengan isteri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri.' Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku, maka aku pun jatuh pengsan,” tutur Sa'id.


Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya.” 


Kemudian Umar memberikan 1.000 dinar kepada Sa'id. Dan ketika istrinya melihat wang itu, ia berkata kepada Sa'id, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu."


“Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” tanya Sa'id pada isterinya.


“Apa itu?”


“Kita berikan dinar itu kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih memerlukannya.” 


“Bagaimana maksudnya?” 


“Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik,” kata Sa'id.


Isterinya berkata, “Benar, dan semoga kau mendapat balasan kebaikan.” 


“Berikanlah ini kepada jandanya fulan, kepada anak-anak yatimnya fulan, kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan," kata Sa'id.


Mudah-mudahan Allah meredhai Sa’id bin Amir Al-Jumahi, kerana ia termasuk orang-orang yang mendahulukan orang lain atas dirinya, walaupun dirinya sangat memerlukannya.

No comments:

Post a Comment