Thursday, 9 March 2017

BURUK SANGKA


Dari negeri yang jauh, datang dua orang sufi untuk berkunjung kepada Ibnu Khafif. Kerana tidak menemukan syeikh di tempatnya, maka bertanya-tanyalah mereka, di manakah kiranya Ibnu Khafif berada pada saat itu.

"Di istana Azud ad-Daula", seseorang memberikan keterangan.

"Apakah urusan syeikh Ibnu Khafif di istana?", kedua sufi itu bertanya-tanya. "Selama ini kita mengira bahwa ia adalah orang yang mulia!". Kemudian mereka berkata, "lebih baik kita melihat-lihat kota ini".

Maka pergilah mereka ke pasar. Kemudian mereka menuju ke tempat tukang jahit untuk menampalkan jubah mereka yang robek di sebelah depannya. Tetapi ketika itu si penjahit lagi kehilangan guntingnya.

"Kalian mencuri gunting," orang ramai menuduh mereka berdua dan menyerahkan mereka kepada penguasa. Kedua sufi itu diheret ke istana. "potonglah tangan mereka", Azud ad-Daula memberikan perintah.

"Tunggu!", Ibnu Khafif yang ketika itu berada di istana berseru. "Mereka ini bukan pencuri".

Maka kedua sufi itu pun dibebaskan. Kemudian Ibnu Khafif berkata kepada mereka,"Persangkaan buruk kalian terhadap diriku memang wajar. Tetapi urusanku yang sebenarnya di istana adalah untuk tujuan-tujuan seperti membebaskan tadi"

Sejak itu keduanya menjadi murid Ibnu Khafif.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

ABU UTSMAN AL HIRI DAN HAMBA PEREMPUAN


Seorang saudaragar telah membeli seorang hamba perempuan seharga seribu dinar di Nishapur. Ia berhutang kepada seorang di kota lain. Si saudagar hendak pergi ke sana dengan segera untuk menagih hutangnya itu. Tetapi di kota Nishapur tak seorang pun yang dapat dipercayainya untuk menjaga hamba perempuannya itu. Oleh kerana itu pergilah ia menemui Abu' 'Utsman al-Hiri dan menjelaskan masalah yang dihadapinya itu. Mula-mula Abu 'Utsman menolak untuk menjaga hamba perempuan itu, tetapi si saudagar tetap meminta pertolongannya:

"Izinkanlah dia tinggal di dalam haremmu. Aku akan kembali dalam waktu secepatnya".

Akhirnya Abu 'Utsman menyerah dan si saudagar meninggalkan tempat itu. Tanpa disengaja terpandanglah gadis itu oleh Abu 'Utsman dan ia pun tergila-gila kepadanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya pergilah ia ke rumah gurunya Abu Hafshin bin Haddad, untuk meminta nasehat. Abu Hafshin bin Haddad menasihatkan:

"Pergilah ke Rayy dan mintalah nasihat kepada Yusuf bin al-Husain".

Maka berangkatlah Abu 'Utsman ke negeri Iraq. Ketika sampai di kota Rayy, ditanyakannya tempat tinggal Abu Yusuf bin al-Husain. Tetapi orang-orang mencegahnya ke sana.

"Apakah urusanmu dengan manusia bid'ah yang terkutuk itu? Engkau tampaknya sebagai seorang yang saleh, bergaul dengannya berarti menjerumuskan dirimu sendiri".

Sedemikian banyak keburukan-keburukan Yusuf yang diperkatakan orang sehingga Abu 'Utsman menyesal, mengapa ia sampai datang ke kota Rayy itu. Akhirnya ia pun kembali ke Nishapur.

"Apakah engkau telah bertemu dengan Yusuf bin al-Husain?" satu pertanyaan Abu Hafshin menyambut kedatangannya di Nishapur.

"Tidak", jawab Abu 'Utsman.

"Mengapa tidak?" tanya Abu Hafshin.

"Aku dengar segala tingkah laku Yusuf", kemudian lalu dikisahkannya segala sesuatu yang disampaikan penduduk Rayy kepadanya. "Oleh kerana itulah aku tidak pergi menemuinya dan kembali ke Nishapur".

"Kembalilah ke Rayy, dan temuilah Yusuf", Abu Hafshin mendesak 'Utsman.

Abu "Utsman pergi lagi ke Rayy dan sekali lagi bertanya-tanya, di manakah tempat tinggal Yusuf. Dan penduduk kota Rayy seratus kali lebih banyak memburuk-burukkan Yusuf daripada sebelumnya.

"Aku mempunyai suatu urusan penting dengan Yusuf", Abu 'Utsman menjelaskan kepada mereka.

Akhirnya mereka mahu juga menunjukkan kediaman Yusuf. Sesampainya di tempat Yusuf, dilihatnya seorang tua yang sedang duduk. Dan seorang remaja tampan yang tidak berjanggut berada di depannya. Si pemuda sedang menyajikan sebuah cembung dan cangkir. Wajahnya berseri-seri. Abu 'Utsman masuk, mengucapkan salam dan duduk. Syeikh Yusuf memulai pembicaraan, mengucapkan ajaran-ajaran yang sedemikian mulia dan luhur, membuat Abu 'Utsman terheran-heran. Akhirnya berkatalah Abu 'Utsman:

"Demi Allah, dengan kata-kata dan pemikiran-pemikiran seperti ini, apakah yang telah terjadi atas dirimu? Benjana arak dan seorang remaja yang belum berjanggut?"

"Remaja yang tidak berjanggut ini adalah puteraku, dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa ia adalah puteraku", jawab Yusuf. "Aku sedang mengajarkan al-Qur'an kepadanya. Bejana arak ini, kebetulan aku temukan di tempat sampah. Bejana ini aku ambil, aku cuci dan aku isi air, sehingga aku dapat memberikan air kepada orang-orang yang ingin minum kerana selama ini aku tidak punya sebuah tempayan pun".

Abu 'Utsman bertanya pula, "Demi Allah, mengapakah engkau bertingkah laku seperti ini sehingga orang-orang mengatakan hal-hal yang bukan-bukan mengenai dirimu?"

"Aku bertingkah laku seperti ini agar tidak ada orang yang sudi menitipkan hamba perempuannya yang berbangsa Turki kepadaku".

Mendengar jawaban ini, Abu 'Utsman merebahkan dirinya di kaki sang syeikh. Sedarlah ia bahwa Yusuf sebenarnya telah mencapai tingkat kesalehan yang tinggi. 

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariduddin Al Attar

MAKBULNYA DOA BARAKH


Nabi Musa Kalimullah as disuruh meminta kepada Barakh untuk melakukan solat istisqa’ (solat minta hujan) untuk kaum Bani Israil, sesudah mereka tertimpa kemarau selama 7 tahun.

Nabi Musa as keluar untuk mengerjakan solat istisqa’ untuk mereka, dengan berjumlah 70 ribu orang. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as, “Bagaimana Aku mengabulkan doa mereka, dimana mereka telah digelapkan oleh dosa-dosanya, hati mereka itu keji. Mereka berdoa kepadaku dengan tidak yakin dan merasa aman dari siksaanKu. Pergilah pada salah seorang dari hambaKu yang bernama Barakh. Maka katakanlah kepadanya supaya ia keluar untuk melaksanakan solat istisqa’, sehingga Aku mengabulkan doanya.

Maka Nabi pun bertanya-tanya tentang Barakh, mereka tiada satu pun yang mengenal.

Hingga pada suatu hari Nabi Musa berjalan-jalan di suatu jalan, tiba-tiba seorang hamba hitam telah berada di hadapannya. Dan antara dua mata hamba itu berdebu dari bekas sujud dan di lehernya diikat dengan kain selimut. Maka Nabi Musa as mengetahuinya dengan nur Allah Azza wa Jalla.

Maka Nabi Musa memberi salam kepadanya dan bertanya, “Siapakah namamu?”

Hamba hitam itu menjawab, “Barakh!”

Nabi Musa berkata, “Jadi kamu ini, yang kami cari-cari semenjak beberapa waktu. Bangunlah dan bersolat istisqa’ bersama-sama kami.”

Maka hamba hitam itu bangun. Dan ia mengucapkan di dalam doanya, “Bukankah semua ini dari perbuatan Mu? Bukankah semua ini dari kesantunan Mu? Kiranya apakah yang tampak bagi Mu? Adakah kurang untukMu akan mata air Mu? Ataukah angin yang melawan kepada perintah Mu? Atau telah habis apa yang ada pada Mu? Ataukah kerana kerasnya kemarahan Mu atas orang-orang yang berdosa? Bukankah Engkau Maha Pengampun sebelum Engkau menciptakan orang-orang yang berbuat kesalahan? Telah Engkau ciptakan rahmat dan Engkau telah menyuruh dengan kasih sayang. Ataukah Engkau perlihatkan kepada kami bahwasanya Engkau enggan. Ataukah Engkau khawatir akan luput waktu dimana akan Engkau segerakan siksaan?”

Yang meriwayatkan terus berkata, “Maka senantiasa Barakh pada tempatnya. Sehingga basahlah kaum Bani Israil dengan tetes-tetes hujan. Dan Allah Ta’ala menumbuhkan rumput dalam setengah hari, sehingga datanglah orang-orang penggembala unta.”

Maka kembalilah Barakh, lalu ia dijemput oleh Musa as.

Barakh bertanya, “Bagaimana kamu melihat, ketika saya mengadu kepada Tuhanku? Bagaimana Dia menginsafkan aku?”

Lalu Nabi Musa minta pengertian daripadanya, maka Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya, “Bahwa doa Barakh membuat Aku tersenyum .”

Sumber : Kitab Ihya Ulumuddin Karangan Imam Ghazali.

TAWAKAL KEPADA ALLAH


Pada suatu ketika Syeikh Ibrahim Al Khawwas tersesat di padang pasir. Untuk beberapa lama dia berjalan ke satu arah yang tetap tetapi dia tidak menemukan jalan. Berhari-hari lamanya dia kehilangan arah seperti itu sehingga pada akhirnya dia mendengar gonggongan anjing. Aku kegirangan dan berjalan ke arah datangnya suara gonggongan tersebut. Namun tiba-tiba seekor kadal menyambarku. Lalu aku berkata di dalam hatiku, "Inilah akibat bagi orang yang menyerahkan diri kepada makhluk". Kemudian ada yang mengatakan didalam jiwaku, "Wahai ibrahim, selama kau dalam penjagaan dan janjiku maka kau pasti agung. Tetapi ketika kau masuk ke dalam penjagaan anjing maka engkau dikuasai makhluk". Maka aku pun bertaubat kepada Allah. Tiba-tiba binatang yang menyambarku tadi jatuh dari tebing dan kepala terputus.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.

KEHENDAK ALLAH


Suatu hari ketika Ibrahim Khawas melintasi daerah Syria terlihatlah olehnya pohon-pohon delima. Ibrahim Khawas mengekang hasratnya dan tak sebiji pun dari delima-delima itu yang dia makan kerana semuanya asam, sedang yang dia inginkan adalah yang rasanya manis. Tidak berapa lama kemudian ketika memasuki lembah dia menemukan orang yang terbaring, lemah dan tidak berdaya. Ulat-ulat telah merayapi tubuhnya, tebuan berdesingan di sekelilingnya dan kadang-kadang menyengatnya. Melihat keadaan yang menyedihkan itu, timbullah rasa kasihannya. Setelah menghampirinya dia bertanya kepadanya. "Bolehkah aku mendoakanmu agar engkau terlepas dari penderitaan ini?"

'Tidak", jawab orang itu.

"Mengapa", aku bertanya

"Kerana kesembuhan adalah kehendakku dan penderitaan ini adalah kehendak-Nya"

"Setidak-tidaknya izinkanlah aku mengusir tebuan-tebuan itu", pujukku.

"Khawas", dia menjawab, "usirlah hasratmu terhadap buah-buah delima yang manis rasanya itu. Apakah perlunya engkau mengganggu diriku? Berdoalah untuk kesembuhan hatimu sendiri. Apakah perlunya engkau mendoakan kesembuhan jasmaniku?"

"Bagaimanakah engkau tahu bahwa aku bernama Khawas?"

"Barang siapa mengenai Allah, maka tidak sesuatu pun yang tersembunyi daripadanya", dia menjawab.

"Bagaimanakah perasaanmu terhadap  tebuan-tebuan ini? aku bertanya pula.

"Selama tebuan-tebuan itu menyengat tubuhku dan ulat-ulat ini menggigit-gigit tubuhku, aku merasa berbahagia", jawabnya.

Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.