Thursday, 3 November 2016
KISAH MEMBUNUH PARA SUFI
Ketika Ghulam Khalil menyatakan perang terhadap para sufi, ia pergi menghadap khalifah dan mencela mereka.
"Orang-orang telah menyaksikan beberapa kelompok sufi berdendang-dendang, menari-nari dan menghujjah Allah. Sepanjang hari mereka berjalan-jalan dan di malam hari mereka ber-sembunyi di dalam kuburan-kuburan di bawah tanah, dan berkhutbah. Sufi-sufi ini adalah manusia-manusia bid'ah. Seandainya ketua kaum Muslimin bersedia mengeluarkan perintah agar sufi-sufi ini dibunuh, nescaya doktrin bid'ah akan musnah, kerana sesungguhnya mereka itulah pemimpin-pemimpin para bid'ah. Jika hal ini dilakukan oleh ketua kaum Muslimin, aku jamin bahwa ia akan memperoleh pahala yang berlimpah".
Khalifah segera memerintahkan agar Abu Hamzah, Raqqam, Syibli, Nuri dan Junaid dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berkumpul, khalifah memerintahkan agar mereka dibunuh. Algojo mula-mula hendak memancung Raqqam tetapi Nuri meloncat, menerjang maju dan berdiri menggantikan Raqqam.
"Bunuhlah aku yang sedang tertawa-tawa bahagia ini terlebih dahulu", kata Nuri.
"Belum tiba giliranmu", jawab si algojo, "sebuah pedang bukanlah sebuah senjata yang harus dipergunakan secara tergesa-gesa".
"Jalanku ini berdasarkan kecintaan", Nuri menjelaskan. "Aku lebih mencintai sahabatku daripada diriku sendiri. Yang paling berharga di atas dunia ini adalah kehidupan. Aku ingin memberi beberapa saat kehidupan kepada saudara-saudaraku ini, kerana itulah aku ingin mengorbankan hidupku sendiri, walau aku berpendapat bahwa sesaat di atas dunia adalah jauh lebih berharga daripada seribu tahun di akhirat. Dunia ini adalah tempat berbakti dan akhirat adalah tempat yang dekat kepada Allah, sedang untuk menghampiri-Nya harus berbakti kepada-Nya".
Ucapan-ucapan Nuri ini disampaikan kepada khalifah yang menjadi sangat kagum kerana ketulusan dan kejujuran Nuri itu. Maka diperintahkannya agar hukuman itu ditangguhkan dan persoalan mereka diserahkan kepada qadhi.
"Mereka tak dapat dituntut tanpa bukti-bukti", si qadhi menjelaskan. Sesungguhnya si qadhi telah mendengarkan khutbah-khutbah Nuri dan mengetahui keahlian Nuri dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Maka berpalinglah ia kepada Syibli. "Akan ku tanyakan orang gila ini mengenai sesuatu bidang yang tidak akan sanggup dijawabnya", ia berkata di dalam hati.
"Berapakah yang dizakatkan seseorang bila ia memiliki wang dua puluh dinar?", si qadhi bertanya kepada Syibli.
"Dua puluh setengah dinar", jawab Syibli.
"Siapakah yang menetapkan zakat yang sebesar itu?" si qadhi menanya.
"Abu Bakar yang agung", jawab Syibli. "Ia memberikan semua yang dimilikinya sebanyak empat puluh ribu dinar sebagai zakat", jawab Syibli.
"Ya, tetapi mengapakah engkau tadi menambahkan setengah dinar?"
"Sebagai denda", jawab Syibli. "Ia telah menyimpan wang dua puluh dinar dan oleh kerana itu ia harus membayar setengah dinar sebagai dendanya".
Kemudian si qadhi berpaling kepada Nuri dan mempertanyakan sebuah masalah hukum. Nuri segera memberi sebuah jawaban yang membuat si qadhi bingung, Nuri memberi penjelasan:
"Qadhi, engkau telah mengajukan semua pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi tak satu pun di antaranya yang penting. Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang berdiri kerana Dia, yang berjalan dan beristirahat kerana Dia, yang hidup kerana Dia dan berdiam diri merenungi-Nya. Apabila sesaat saja mereka berhenti merenungi-Nya nescaya binasalah mereka. Melalui Dia mereka tidur, melalui Dia mereka makan, melalui Dia mereka menerima, berjalan, melihat, mendengar dan melalui Dia mereka ada. Inilah ilmu yang sesungguhnya, bukan yang engkau pertanyakan itu".
Si qadhi tergamam tak dapat berkata apa-apa. Kemudian ia mengirim surat kepada khalifah.
"Jika orang-orang seperti mereka ini dianggap sebagai orang-orang yang tiada bertuhan dan bid'ah maka keputusanku adalah bahwa seluruh dunia ini tiada seorang pun yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa".
Khalifah memerintahkan agar tahanan-tahanan itu dibawa ke hadapannya.
"Adakah sesuatu hal yang kalian inginkan?" khalifah bertanya kepada mereka.
"Ada", mereka menjawab. "Kami ingin agar engkau melupakan kami. Kami ingin agar engkau tidak memuliakan kami dengan restumu dan tidak mengusir kami dengan murkamu, kerana bagi kami, kemurkaanmu itu sama dengan restumu, dan restumu itu sama dengan kemurkaanmu".
Khalifah menangis dengan hati yang tersayu dan membebaskan mereka dengan segala hormat.
Sumber : Kitab Tazkiratul Auliya Karangan Syeikh Fariddudin Attar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment