Thursday, 22 May 2014
NU'AIM BIN MAS'UD PEMECAH BELAH PASUKAN AHZAB
Pada masa mudanya, Nu’aim bin Mas’ud adalah seorang yang mahir dalam segala bidang. Ia terlahir dari sebuah keluarga saudagar yang cukup makmur di Nejed, kota kecil di pinggiran Makkah.
Nu'aim dilahirkan sebagai seorang suku Ghathafan dari keluarga yang ternama. Di usia muda, ia sering berdagang dari Makkah ke Madinah. Namun, dari kegiatan itulah ia pun menjadi tahu akan hal-hal yang menyangkut kemaksiatan dan kesenangan di kota itu.
Dengan pemahamannya yang cukup akan kesenangan yang ditawarkan Madinah, ia menjadi seorang yang sering pergi ke kota itu demi mencari kesenangan dunia yang ditawarkan oleh kaum Yahudi di sana, terutama Bani Quraizhah. Oleh sebab itu, ia sangat dikenal oleh orang-orang di Madinah. Dan mereka pun menyukai Nu'aim.
Pada saat itu, Nu’aim tidak ambil tahu dengan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Saat Rasulullah dan para sahabatnya memulai hijrah ke Madinah, barulah Nu’aim merasa terganggu dan terusik.
Ketika kaum Yahudi Bani Nadir yakni kaum Yahudi dari sekitar Madinah mulai bergerak dan memprovokasi kaum Quraisy di Makkah dan di Nejed untuk memerangi Rasulullah dan pengikutnya di Madinah, dengan segera bani Ghathafan di Nejed menyambut baik usulan tersebut.
Saat itu, Nu’aim termasuk salah satu tokoh Bani Ghathafan yang ikut dalam pasukan Bani Ghathafan di bawah kepemimpinan Uyaynah bin Hishn Al-Ghethfan. Selain mempengaruhi kaum Quraisy di Makkah dan Bani Ghathafan di Nejed, para Yahudi Bani Nadhir juga mempengaruhi suku Yahudi yang tinggal di Madinah, yakni Bani Quraidzah.
Saat itu Bani Quraidzah menolak usulan Bani Nadhir, karena mereka terikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Namun, para pemimpin Bani Nadhir pandai merayu Bani Quraizhah agar membatalkan perjanjian tersebut secara sembunyi. "Kali ini Muhammad pasti kalah," kata mereka. Bani Quraizhah pun mengikut saja.
Berita tentang datangnya ribuan pasukan dari arah Makkah dan tentang pemutusan perjanjian sepihak oleh Bani Quraidzah segera tersebar dengan cepat ke Madinah. Orang-orang munafik yang berada di tengah-tengah kaum Muslimin mulai membuka menyebarkannya.
Banyak dari mereka dengan terang-terangan meninggalkan Madinah dengan alasan takut akan hal buruk yang tiba-tiba menimpa keluarga mereka jika Bani Quraidzah menyerang. Sampai saat itu, jumlah kaum Muslimin yang siap mempertahankan Kota Madinah hanya sekitar 900 orang prajurit.
Sampai pada suatu malam, setelah kira-kira 20 hari dalam pengepungan, Rasulullah saw berdoa, mengadu kepada Allah dengan sungguh-sungguh. “Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu sesuai dengan apa yang Engkau Janjikan.”
Sementara itu, jauh dari tempat Nabi saw bermunajat, seorang tokoh Bani Ghathafan, Nu’aim bin Mas’ud, tengah berbaring dalam keadaan gelisah. Ia merasa apa yang dilakukannya adalah suatu kebenaran. Namun, dalam hatinya ia merasa bersalah.
"Sungguh, alangkah bodohnya diriku. Selama ini, hidupku dipenuhi dengan kesenangan yang menipu dan kegembiraan sesaat. Namun, mengapa kini aku melawan Muhammad yang katanya mengajarkan kehidupan yang dipenuhi ketenteraman yang abadi? Bukankah aku tetap tidak ingin kembali ke kehidupanku yang sebelumnya?” Nu'aim mendapat hidayah Allah SWT.
Malam itu juga, ia menunggang kudanya dan menuju ke dekat kota Madinah. Sesampainya di sana, ia meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah saw bukan sebagai musuh.
Ketika Rasulullah melihatnya Nu'aim berdiri di hadapannya, beliau bertanya, "Engkau Nu'aim bin Mas'ud?"
"Betul, wahai Rasulullah," jawab Nu'aim.
"Apa yang mendorongmu datang ke sini pada saat seperti ini?" tanya beliau.
"Aku datang untuk menyatakan pengakuanku. Tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya engkau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku mengakui agama yang engkau bawa sesungguhnya benar," jawab Nu'aim sungguh-sungguh.
Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, "Wahai Rasulullah, sungguh aku telah benar-benar masuk Islam. Dan kaumku tidak mengetahui bahwa aku telah masuk Islam. Perintahkanlah kepadaku perintah apa saja yang dapat aku laksanakan!"
Rasulullah menjawab, "Engkau hanya seorang dari pihak kami, kembalilah kepada kaummu! Dan jika kamu sanggup, takut-takutilah mereka bahwa sesungguhnya mereka lemah dan kami kuat. Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya.”
“Saya siap, wahai Rasulullah. Insya Allah engkau akan segera melihat sesuatu yang menggembirakan,” janji Nu’aim.
Setelah itu, Nu’aim segera berangkat menuju ke kubu Bani Quraidzah, yang telah menjadi sahabat baiknya sampai saat ini. Ia berhasil meyakinkan mereka untuk tidak dalam pertempuran melawan Rasulullah SAW.
"Jangan kalian bantu mereka (Quraiys) memerangi Muhammad sebelum kalian minta jaminan kepada kedua sekutu kalian itu, yakni pemuka-pemuka atau bangsawan-bangsawan ternama dari mereka sebagai jaminan atas peperangan ini. Sampai kalian memenangi peperangan ini dan menguasai negeri ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka,” kata Nu’aim. Bani Quraizhah pun menerima kata itu.
Setelah itu, Nu’aim segera menuju kubu Quraisy dan Ghathafan di luar Kota Madinah. Ia segera menemui pimpinan Quraisy, Abu Sufyan bin Harb, yang saat itu dikelilingi para pembesar Quraiys. Ia berhasil merayu mereka agar tidak melanjutkan serangan bersama. Nu'aim mengatakan bahwa Bani Quraizhah menyesal memutuskan perjanjian dengan Muhammad SAW, dan malah mereka akan membantu Rasulullah menghadapi pasukan Ahzab.
Mendengar penjelasan Nu'aim, Abu Sufyan berkata, “Kau adalah sekutu kami yang baik. Semoga kamu mendapat balasan yang baik pula.”
Hal yang sama dilakukan juga oleh Nu’aim kepada Kaumnya, yakni Bani Ghathafan. Dan setelah yakin bahwa Pasukan Ahzab tidak akan melancarkan serangan apa pun kepada kaum Muslimin. Diam-diam Nu’aim pergi ke Madinah dan bergabung dengan pasukan Rasulullah.
Sementara itu, datanglah pertolongan Allah yang dijanjikan kepada Nabi-Nya, berupa badai pasir yang amat kencang dan menakutkan haiwan tunggangan kaum Quraisy. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menghentikan pengepungan dan pulang ke negeri masing-masing dengan kekalahan yang memalukan.
“Dan Allah mengusir orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25).
Demikianlah, strategi yang dilancarkan Nu’aim membuahkan hasil seperti yang dirancangnya. Semenjak itu, Nu’aim bin Mas’ud menjadi Muslim yang taat dan pulang ke negerinya (Ghathafan) dan mulai berdakwah di sana.
Banyak orang-orang Ghathafan yang akhirnya masuk Islam setelah mendengar dakwah Nu’aim. Dan menjelang penaklukan Makkah, Nu’aim dengan segera berbaiat dan mengajukan pasukan dari Bani Ghathafan di bawah pimpinannya untuk mengabdi kepada Rasulullah dan membantu menaklukkan Kota Makkah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment